image

Emi Dwiastuti SE (paling kanan) saat pendampingan anak-anak penyandang n difabel intelektual. (dok)

24 April 2018 | 17:00 WIB | Liputan Khusus

Emi Dwiastuti SE

Menjadikan Orang Tua Para Difabel Kembali Tersenyum

Oleh Bambang Isti

BENARKAH  sosok RA Kartini tiba-tiba hadir di balai pertemuan kantor Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo?

Sabtu (21/4) kemarin saat bangsa Indonesia tengah memperingati Hari Kartini "kehadiran" pejuang emansipasi Kelahiran Mayong Jepara itu tiba-tiba terasakan. Ketika itu para mahasiswa UIN Walisongo Semarang berkumpul di kantor kecamatan untuk sebuah kunjungan kuliah.

Kehadiran Kartini itu setidaknya secara spirit dan terasakan di sana. Karena ternyata di Kecamatan Gatak yang memiliki luas wilayah 1.947 hektare itu, seorang wanita seakan menjadi "titisan" Kartini. Yaitu Emi Dwiastuti SE, warga Desa Trangsan Kecamatan Gatak, Sukoharjo. Ia bukan saja pewaris emansipasi Kartini, tapi penebar kasih sayang bagi warganya sebagaimana Kartini menebar cinta untuk kaum perempuan di zamannya.

Emi Dwiastuti Suwarto adalah relawan sosial yang mengasuh lebih dari 40 balita dan anak penyandang disabilitas di Kecamatan Gatak.

Saat ditemui Sabtu siang itu, Emi Dwiastuti tengah berada di tempat kerjanya, yang diberi nama Sanggar Inklusi Mutiara Bunda. Ruang sanggar itu tidaklah luas. Seukuran rumah tipe 21. Berada di samping belakang kantor kecamatan. Di dalamnya terdapat beberapa kursi roda. Tempat ini dijadikan sekolah bagi balita difabel. Disebut inklusi adalah ini adalah sekolah regular yang menerima ABK (anak berkebutuhan khusus) untuk memperoleh hak pendidikan yang sama.

Setidaknya lebih dari 40 anak dengan usia paling kecil setahun dan paling besar 10 tahun belajar di sanggar ini. Disabilitas mereka adalah mongolisme (down syndrome), tunarungu wicara dan gangguan gerak (cerebal palcy).

Untuk mendidik dan merawat para ABK ini, Emi dibantu beberapa tenaga sosial (empat terapis). "Saya bersyukur mbak-mbak terapis itu semuanya sabar-sabar menghadapi anak-anak difabel," kata ibu dua orang anak yang lahir di Sukoharjo 15 Desember 1974 ini.

Anak-anak difabel ini berasal dari keluarga berlatar sosial yang kurang beruntung. Datang dengan diantar oleh ibunya yang mengaku tidak bisa mendidiknya. "Banyak orang tua mereka malu mempunyai anak difabel. Maka mindset seperti inilah yang harus diubah, bahwa mereka harus terbuka, anak-anak mereka itu juga butuh hak yang sama dengan anak-anak normal lainnya," tegas Emi yang memiliki dua putri cantik Nadya dan Nandita ini.    

Emi mengajari kedua puterinya ini untuk menyayangi anak-anak di sanggar. "Sekarang Nadya dan Nandita sangat sayang pada anak-anak difabel. Mereka sering kangen sama anak-anak, kalau pas tidak ada kuliah, anak saya Nadya selalu bantuin di sanggar," ujar Emi.

Panggilan jiwa

Emi Dwastuti mengaku sebagai Pekerja Kesejahteraan Sosial Kecamatan (PKSK) adalah panggilan jiwa. Sebelumnya Emi adalah seorang pengusaha mebel yang produksinya memenuhi klasifikasi impor. Tapi usahanya terjegal pada tahun 1998 saat krismon mendera Indonesia. Setelah itu berbagai pekerjaan pun dilakoninya. Bersama suaminya Suwarto, Emi pernah membuka usaha kuliner berdagang soto. Usaha ini pun tak mampu mengubah hidupnya.

Tiba-tiba Emi tersadar. Urusan duniawi, harta, dan kekayaan tidak bisa dibawa mati. Tapi amal kebaikan akan menjadi bekal di akhirat nanti. Kesukaan Emi berorganisasi (sebagai tim penggerak PKK) maka sejak lama wanita ini bersentuhan dengan dunia sosial. Sejak itulah ia terpanggil menjadi relawan sosial dengan honor (awalnya) Rp 250 ribu/bulan.

Ya, saat itu hanya dengan Rp 250 ribu/bulan Emi berkeliling 14 desa di Kecamatan Gatak. "Tapi ini tidak membuat saya miskin, tapi saya justru kaya dengan teman, sahabat dan relasi," lanjut Emi tanpa bermaksud mengiba.

H Sadiman Al Kundarto, seorang tokoh pekerja sosial yang menjadi "bapak" para PKSK Indonesia, mengomentari kiprah Emi Dwiastuti: "Bu Emi asalnya dari Desa Trangsan, tapi kini malah terangsang mengurusi anak-anak difabel. Sungguh pilihan pekerjaan yang berbalik 180 derajat dari profesinya semula sebagai pengusaha,"

Suwarto suaminya, adalah bekerja sebagai perangkat desa tampaknya mendukung pilihan isterinya itu. Terbukti sampai sekarang, isterinya itu masih setia dengan dengan pekerjaannya.        

Dari 12 kecamatan di Kabupaten Sukoharjo, sampai kini sudah ada sembilan sekolah inklusi. Tapi Sanggar Mutiara Bunda inilah pelopornya (dirikan tahun 2011). Harapan ibu Hj Ety Suryani Wardoyo Wijaya SE istri bupati, selaku ketua RBM, tiap kecamatan nanti semua memiliki sanggar inklusi, Karena dukungan penuh ibu bupati itulah, yang menjadikan sema pembiayaan difabel di-cover pemda. 

Karena itu Emi berharap setiap kecamatan memiliki satu sanggar inklusi. "Andaikan satu sanggar menangani 20 anak x 573 kecamatan se Jawa Tengah, wah ini luar biasa sekali," kata Emi berbinar.

Untuk itulah Emi selalu berkoordinasi dengan Camat Gatak Dra Sumi Rahayu Mhum untuk urusan sekecil apa pun. Misalnya mencari solusi atas seorang warga difabel dari sebuah desa yang sakit dan harus mondok di RS tapi tidak memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS). "Untuk urusan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) saya selalu berkoordinasi dengan bu camat," kata Emi. 

Tampaknya Pemda Kabupaten Sukohadjo bisa jadi percontohan. Pemda telah menjamin semua biaya kesehatan untuk anak berkebutuhan khusus. Baik itu penyandang disabilitas yang berlatar keluarga kaya atau sebaliknya akan diperlakukan khusus dan istimewa.

Persoalan difabel tidak hanya jadi urusan dinas sosial. Tapi semua pihak harus ikut baik masyarakat atau instansi lain. Misalnya dinas kesehatan dalam hal ini puskesmas dan rumah sakit. Sekarang ini pemerintah justru jemput bola langsung ke masyarakat. Banyak dokter yang langsung terjun menemui penyandang disabilitas. Misalnya yang dilakukan drg Faizah Ariyani. 

Ia menegaskan, untuk anak penyandang disabilitas, saatnya tidak lagi harus disekolahkan di SLB, tapi dengan banyaknya sekolah inklusi justru akan membuat persamaan hak atas pendidikan bisa terpenuhi. "Dibandingkan dengan masa lalu, saya merasa sudah ada kehadiran negara dalam persoalan disabilitas di tengah-tengah kami. Sekarang tidak hanya Dinas Sosial saja, tapi hampir semua OPD mulai terlibat," kata Emi.

Yang membuat seorang Emi Dwiatuti bersyukur, sekarang ini ibu-ibu orang tua dari para difabel itu bisa tersenyum demi melihat anak-anak mereka tidak lagi lunglai. "Ya, saya sangat senang melihat anak-anak dan orang tua mereka tersenyum," kata dia.

Karena anak-anak itu seindah mutiara yang selalu di hati.

(Bambang Isti /SMNetwork /CN41 )

NEWS TERKINI