29 April 2018 | Pamomong

Blencong

Pengantin Lelaki Itu Suamiku

  • Oleh Saroni Asikin

Abimanyu, suamiku, akan menikahi Utari, putri Raja Utara dari Wirata di Upaplaya beberapa hari lagi.Telik yang mengabariku mengatakan, perkawinan itu atas kehendak Arjuna, ayah suamiku, untuk membalas budi kepada Raja Utara yang telah menerima Pandawa selama masa penyamaran.

Tentu saja aku tahu kisah itu. Pandawa kalah bermain dadu dan harus menjalani pembuangan 13 tahun; setahun di antaranya harus meraka lalui dalam penyamaran. Telik juga bilang ayahku, Kresna, setuju karena Wirata bakal jadi sekutu Indraprasta bila perang dengan Astina tak terelakkan. ''Ini bukan perkawinan biasa, Puan Putri Sundari,'' tandas telik itu. ''Terima kasih. Pergilah.'' Telik itu pergi. Air mata yang kutahan-tahan sejak mendengar kabar itu pun tumpah.

Tangis tanpa suara. Sudarpana yang dari tadi hanya bersimpuh di lantai mendongak ke arahku. Raut muka sida-sidakesayanganku itu menunjukkan kesedihan mendalam. Kuunjal napas panjang. Kuusapi air mataku lalu bangkit. ''Darpana, minta Lungit menyiapkan kereta. Jangan pakai kereta yang biasa.

Pilih yang tidak menunjukkan tanda-tanda kereta Dwarawati.'' Sudarpana terlihat bingung. ''Kita ke Upaplaya dalam penyamaran. Tegaskan itu ke Lungit.'' ''Puan Putri akan...?'' Aku menggeleng. ''Tidak. Aku tak akan merusak perkawinan itu. Aku hanya ingin melihat langsung rupa Putri Utari. Aku juga perlu tahu bagaimana sikap suamiku saat di atas pelaminan.

Apakah memang dia menginginkan perkawinan itu atau hanya mematuhi kehendak keluarganya.'' Sudarpana pergi. Kucopoti perhiasan yang menempel di tubuhku: subang, gelang tangan, binggal. Lalu kukenakan pakaian sederhana, membuntal beberapa pakaian, dan mengambil sejumlah uang untuk ongkos selama aku dan Sudarpana di Upaplaya.

***

HARImasih saput lemah ketika kereta yang dikusiri Lungit meluncur ke Upaplaya. Kata telik, perkawinan mereka akan berlangsung pada Anggara Kasih, dan kini masih Tumpak Jenar. Masih cukup waktu. Lungit bilang, kami akan tiba di Wirata pada Soma Cemengan, sehari sebelum upacara perkawinan.

Tak perlu kuceritakan kepadamu bagaimana kereta kami menyusuri jalanan dari Dwarawati ke Wirata, dan bagaimana aku dan Sudarpana pada senja Anggara Kasih itu berada di alunalun Kota Wirata, tempat suamiku dan perempuan itu bakal dibuhulkan dalam perkawinan. Kami berdiri sekitar seratus depa dari kursi pelaminan. Aku mengunjal napas dalam-dalam sebelum memandang lurus ke kedua sosok yang bersanding. Kulihat dia, si perempuan yang kini jadi istri suamiku.

Kuakui, dalam riasan pengantin dia sangat cantik. Aku seperti melihat seorang hapsari, tapi hatiku, jangan kautanya, betapa penuh gemuruh kecemburuan dan kemarahan. Di sampingnya, dengan muka penuh riap kegembiraan, bibir selalu tersenyum, suamiku duduk. Dia bagaikan Betara Kamajaya. Kudengar beberapa orang berbisik-bisik, ''Betul-betul mirip Kamajaya dan Kamaratih mereka. Betul-betul pasangan sempurna.''

Kuakui, ya kuakui, pasangan di atas pelaminan itu mirip Kamajaya-Kamaratih. Dan, orangorang menggeremengkan puja-puji, kecuali Sudarpana yang terus-menerus menengok ke arahku dengan raut muka ingin menangis. Aku berdiri dengan kaki gemetar. Saat itu, aku merasa ribuan drubiksa merasuki diriku. Kuraba-raba cundrik di bawah lipatan bajuku.

Di dalam benakku tergambar seorang perempuan berjalan mengacungkan cundrik dan menikamkan ke tubuh pengantin perempuan. Saat itulah mataku bersirobok dengan mata ayahku. Dia melihatku dan tentu saja mengenaliku. Segera kutarik tangan Sudarpana. Dengan setengah berlari kami keluar, ke tempat Lungit menunggu.(44)

Catatan: Anggara kasih: Selasa Kliwon; saput lemah: sekitar pukul 05.00; Tumpak Jenar: Sabtu Pahing; Soma Cemengan: Senin Wage; hapsari:(idadari; cundrik: pisau kecil yang umumnya dipakai kaum perempuan sebagai senjata bela diri.