image

SM/javajogja

15 April 2018 | Pamomong

Merengkuh Perbedaan, Mencari Kasunyatan

  • Oleh Sendang Mulyana

Haruskah kita marah ketika mendengar pernyataan seseorang yang mendaku ahli filsafat bahwa kitab suci adalah fiksi? Haruskah kita mengutuki ketika ada orang yang mengalami ketakseimbangan emosi mencurahkan rasa cinta pada Ibu Pertiwi dalam wujud puisi dengan gaya kuasa?

Fakta, fiksi, imajinasi tiba-tiba menjadi istilah yang menyeruak ke tengah perdebatan politik. Jagat karang-mengarang menjadi perhatian. Kebebasan berekspresi menjadi bahan gorengan yang riuh pada tahun yang didewakan sebagai tahun politik ini.

Dengan kapital budaya paspasan, mereka rebut bener, meronce dan meluahkan argumentasi ngalor-ngidul tidak keruan.

Antara pengarang, pengkaji, atau penyerang laksana tumbu entuk tutup. Dalam kondisi seperti ini, literasi ternyata masih sebatas proyek kampanye dan diskusi. Karangan seperti bedak pupur yang belepotan di kulit.

Ia diformulasikan hanya untuk kepentingan pragmatis. Lucunya, ketika keriuhan berpotensi bermuara ke kubangan chaos yang bisa berakibat fatal, mereka samasama menghindar dengan kekudhung walulang macan, dalam ritual sentimentalisme picisan.

Menarik sekali merenungi ungkapan Mangkunegara IV berikut: Kekerane ngelmu karang/ Kekarangan saking bangsaning gaib/Iku boreh paminipun/ Tan rumasuk ing jasad/ Amung aneng sajabaning daging kulup/Yen kapengkok pancabaya/Ubayane mbalenjani. Ada pandangan yang salah kaprah.

Kita cenderung membuat antonim "fiktif" dengan "benar", padahal lawan kata "fiktif" adalah "faktual" (fiksi versus fakta), sedangkan lawan kebenaran adalah kesalahan (seperti dalam "salah dan benar"). Maka, fiksi tidak berarti "salah". Sebaliknya, tidak selamanya yang faktual bernilai "benar".

Jadi bukan hal gampang untuk saling merasa benar dan hebat. Justru yang patut kita renungkan, kebenaran sebagai sebuah nilai perlu dirunut dari motif yang melingkupi. Bukan sekadar kenyataan, budaya Jawa mengedepankan istilah kasunyatan.

Manusia senantiasa berupaya memperoleh pemahaman dan penghayatan utuh tentang hidup dan lingkungannya. Dengan menyelam ke dalam tiga dimensi lingkungan lahir, batin, dan gaib, manusia mencari kasunyatan. Kasunyatan bersegikan kebenaran dan kenyataan. Karena itu, marah, mengutuk, anarkis, hanyalah laku sia-sia.

Lingkungan sesama manusia atau lingkungan sosial kemasyarakatan menjadi salah satu dimensi lahir yang perlu diperhatikan untuk menggapai kasunyatan. Masyarakat majemuk saat ini adalah kenyataan yang tak bisa dielakkan. Hidup laksana di kampung global menawari kita memilah dan memilih sesuatu yang dikatakan kebenaran, yang berseliweran setiap saat.

Lingkungan hidup batin atau lingkungan psikologis merupakan area bagi manusia untuk menekuri penghayatan. Ketika kita memilih, menimbang, menentukan sesuatu pasti dipengaruhi oleh nafsu, naluri, bahkan pretensi.

Dapatkah kita mengerahkan kekuatan cipta, rasa, dan karsa untuk mendengarkan suara batin sebagai mahkamah paling tinggi? Usaha mausia mencari kasunyatan juga dipengaruhi oleh lingkungan hidup gaib atau lingkungan spiritual, yang merupakan lingkungan di luar pancaindra. Pada dimensi ini berlaku ungkapan, "Percayalah dulu, baru suatu saat nanti kau akan mengetahuinya!"

Merawat Kesabaran

Istilah ngelmu dalam budaya Jawa ekuivalen dengan makna laku kesabaran. Karena itu, untuk menggampangkan pengertian, ngelmu dikeretabasakan menjadi angel yen durung ketemu, bukan sekadar ilmu atau pengetahuan.

Ciptoprawiro (1986) mencatat dalam mencari kasunyatan, manusia telah menempuh empat jalan, yakni jalan ilmu pengetahuan, filsafat, agama, dan seni. Ilmu pengetahuan mendasarkan diri atas observasi (pengamatan) dan eksperimen (percobaan) yang mengutamakan penggunaan pancaindra dan penalaran.

Filsafat mendasarkan diri atas rasio, akal pikiran, dan penalaran secara logika dengan sintesis atas hal-hal yang telah diketahui serta analisis hal-hal yang belum diketahui. Agama mengutamakan wahyu yang datang dari kekuatan atau kesadaran di luar manusia. Seni merupakan cetusan rasa manusia yang didorong oleh kekuatan dalam proses penciptaan.

Perdebatan yang mengarah ke sektarianisme, menafikan kenyataan dan kebenaran yang barangkali bersemayam dalam dimensi lingkungan lain, serta tidak merawat kesabaran dalam menapaki tahapan demi tahapan, hanya akan menghasilkan perpecahan. Yang profesor, doktor, akan pongah dengan keilmuannya. Yang filsuf akan sok kefilsuf-filsufan dan menjadi hamba penalaran. Yang agamawan akan membuncahkan dalil-dalil.

Yang seniman akan memuja kebebasan ekspresi. Padahal, tujuan hidup adalah ngudi kasampurnan. Manusia sempurna yang wikan sangkan paran. Manusia yang memiliki pemahaman utuh atas dari mana datangnya hidup. Apakah hidup sebagai kebetulan, apa hidup manusia tak beda dari batu yang terlempar begitu saja.

Kenapa (harus) hidup, kenapa hidup di Jawa, Indonesia, atau di mana saja? Lalu, ke mana arah tujuan hidup! Maka, manusia Jawa memiliki kesadaran betapa penting wahyu ilahi, mencerna ilmu tinggi, menjaga kesempurnaan kekuatan jiwa dan raga, tidak dikuasai syahwat kekuasaan, kepemilikian, kemasyhuran, bahkan kesalehan. Siapa mengenal diri akan mengenal Tuhan.

Begini ujar Mangkunegara IV: Sapantuk wahyuning Allah/Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit/Bangkit mikat reh mangukut/Kukutaning jiwangga/ Yen mengkono kena sinebut wong sepuh/Lire sepuh sepi hawa/Awas roroning atunggil. Mencari kasunyatan, memburu kesempurnaan hidup, ngudi kasampurnan, berkaitan dengan mengelola rasa. Pengelolaan rasa yang baik akan menelurkan kearifan.

Kearifan adalah nyawa keharmonisan. Jawa menjadi kultur penyangga bagi kelangsungan hidup bangsa dengan ragam bahasa, etnik, agama, dan ekspresi-eskpresi politik dari keragaman itu. Nah, semua bermula dari diri yang mengendapkan diri.

Tan samar pamoring sukma/Sinuksmaya winahya ing ngasepi/Sinimpen telenging kalbu/Pambukaning warana/Tarlen saking liyep layaping aluyup/Pindha pesating sumpena/Sumusuping rasa jati. Ekspresi yang lahir dari pengendapan diri adalah ekspresi rasa sejati. Bukan ekspresi politisasi!(44)

- Sendang Mulyana, dosen sastra dan budaya Universitas Negeri Semarang