29 April 2018 | Pamomong

Buruh, Pendidikan, dan Gaya Priayi

  • Oleh Sendang Mulyana

Gorengan isu yang hangat menggelinding mengiringi dua momentum, Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional, kali ini adalah kemerebakan tenaga kerja asing kasar di tengah kerumunan penganggur. Yang kasar diributkan, yang halus diimpikan. Rebutan jatah ketimbang polah.

Sapa polah bakal mamah adalah ungkapan Jawa yang mengisyaratkan betapa penting ketekunan, gerak, kerja. Kesadaran pendidikan sebagai investasi peradaban sudah tumbuh pascakemerdekaan.

Namun dalam perkembangan, justru setelah orang berpendidikan dipertanyakan maukah ia polah? Kenapa wong pinter hanya bisa thenger-thenger? Bila sudah seperti itu, sektor pendidikan jadi alamat pelampiasan sasaran. Mulder (1996) menyatakan pendidikan justru berkontribusi menambah pengangguran lantaran memandang rendah kerja kasar dan mendambakan kerja terhormat.

Siapa bersalah? Rendra menyentil lewat sajak "Seonggok Jagung": ... Seonggok jagung di kamar/Tak akan menolong seorang pemuda/Yang pandangan hidupnya berasal dari buku/Dan tidak dari kehidupan/ Yang tidak terlatih dalam metode/- Dan hanya penuh hafalan kesimpulan/ Yang hanya terlatih sebagai pemakai/ Tetapi kurang latihan bebas berkarya/Pendidikan telah memisahkanya dari kehidupanya//Aku bertanya /Apakah gunanya pendidikan/ Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing/Di tengah kenyataan persoalannya? Rendra barangkali kurang menyadari, sejatinya bukan hanya kesalahan anak sekolah dan sistem pendidikan, melainkan juga masyarakat yang telanjur salah kaprah memandang sekolah.

Masyarakat mengira anak sekolah tahu segalanya, sehingga membuat si anak kikuk, bingung.

Tak mau bekerja atau tak ada yang dikerjakan? Itulah yang kini diributkan, sehingga pekerjaan kasar pun jadi rebutan setelah diambil orang. Padahal, penyebutan "kasar" sebenarnya tak enak di telinga. Ketika ada ungkapan "tenaga kerja asing tak boleh jadi tenaga kasar", muncul kesan apakah tenaga kasar memang jatah kita? Apakah nasib dan jatah kita hanya buruh? Apakah buruh pekerjaan tidak terhormat?

Masalahnya sebenarnya berpangkal dari mentalitas. Koentjaraningrat menyatakan pascarevolusi kemerdekaan, mentalitas kita suka menerabas, abai terhadap kualitas, dan tak bertanggung jawab.

Mentalitas itu terus tertanam dalam pandangan hidup bahwa orang terdidik akan beroleh pekerjaan enak, mungkin suatu saat jadi pejabat, dapat memainkan w e w e n a n g , mempertunjukkan kedudukan, m e - mamerkan barang dan kekayaan. Di satu sisi, dalam keriuhan politisasi rebutan jadi tenaga kasar, di sisi lain sebagian orang yang beruntung itu hidup dalam lingkaran neofeodalisme.

Pola gaya hidup mereka meniru kaum priayi lama, kemratu, tetapi kehilangan kaitan kehalusan budi bahasa dan penguasaan batin. Artinya, kaum priayi lama beroleh kedudukan dengan tetap mengedepankan olah batin, budi bahasa, budaya, menghayati makna lelabuhan, pengorbanan, pengabdian, sedangkan priayi baru bergaya hidup orang kaya baru, meniru kaum borjuis secara nggasruh. Mereka generasi yang diasuh kekuasaan dan perkembangan kapitalis yang tak malu berkonspirasi dan menjilat!

Literasi Tradisi

Pendidikan adalah wahana pembudayaan. Ketercapaian kemandirian budaya dapat terwujud bila mental anak didik digembleng dengan bener lan pener, benar dan tepat. Artinya, sistem pendidikan dikembalikan ke khitah untuk menjadikan manusia seutuhnya. Sistem pembelajaran selalu mengikuti perkembangan metodologi mutakhir, tanpa mengesampingkan kondisi sosiokultural. Pendek kata, pendidikan itu upaya menempa manusia menjadi wong, jadi manusia baik.

Mengingat kembali pesan Pakubuwana IV yang sudah sering dipakai dalam materi lomba nembang macapat dan jadi bahan ajar di sekolah, yakni ajaran tentang tata krama, perbuatan yang baik dan tidak baik, serta jenis watak manusia di dunia ini. Sekar pangkur kang winarna/- lelabuhan kang kanggo wong ngaurip/ ala lan becik puniku/prayoga kawruhana/adat waton puniku dipunkadulu/miwah ingkang tata krama/den kaesthi siyang ratri.

Sesungguhnyalah manusia hidup perlu memahami hakikat pengabdian bagi kehidupan. Perlu tahu hal-hal baik dan buruk agar tak terpeleset dan jatuh ke kubangan wirang. Paham pula adat, aturan, tata krama.

Kata "siyang ratri" mengandaikan keterlibatan negara, keluarga, dan masyarakat dalam menegakkan semua itu. Saat ini perdebatan rentan digoreng kepentingan politik ketimbang yang substansial. Maka literasi tradisi dalam pendidikan kita tentu bukan hal mewah demi pembentukan mentalitas bangsa yang memiliki kemandirian budaya.

Jangan sampai, Alaning liyan den andhar/ing becike liyan dipunsimpeni/ becike dhewe ginunggung/- kinarya pasamuan/nora ngrasa alane dhewe ngendhukur/wong mangkono wateknya/nora kena denpedhaki. Betapa saat ini kita mudah menyaksikan orang mengumbar kejelekan orang lain, sambil menyembunyikan kebaikannya hanya karena jadi lawan politik.

Betapa pencitraan jadi kebutuhan, menyanjung-nyanjung kebaikan diri sendiri dan membicarakannya dalam pertemuan, tak merasa kejelekan itu tumpuk undhung dikempit lan diindhit. Ironisnya, ia dikerubuti banyak orang lantaran belepotan gula-gula kekuasaan. Ya, pendidikan mestinya mampu melahirkan manusia terhormat. Itulah manusia yang rela jadi buruh kehidupan! (44)

-Sendang Mulyana, dosen sastra dan budaya Universitas Negeri Semarang