29 April 2018 | Pamomong

Pringgitan

Musyawarah Para Setan

  • Oleh Triyanto Triwikromo

Apayang terjadi jika ada 30 setan di Jawa berusaha mencari satu raja setan? Apakah akan sama dengan kisah 30 puluh burung yang mencari Simurg di Kaf dalam Musyawarah Para Burung (Manthiqut-Thayr) karya Fariduddin Attar? Dalam kisah Attar, "30 burung" itu adalah Simurg, raja burung, yang entah mengapa menjatuhkan sehelai bulu ke Tiongkok.

Adapun Simurg, menurut pembacaan Jorge Luis Borges, adalah masing-masing burung sekaligus semua burung itu. Attar menyatakan, "Di sana pada wajah Simurg yang berseri-seri mereka melihat diri mereka sendiri."

Tentu kisah 30 setan mencari raja setan tidak sebangun dengan cerita Simurg yang merupakan perjumpaan antara umat dan Tuhan. Akan tetapi kita bisa bertanya, apakah pada akhir kisah sang raja setan akan bilang, "Kamu adalah aku, aku adalah kamu. Bahkan siapa pun di luar kita adalah kita."? Tak perlu terburu-buru menjawab pertanyaan itu. Kita bayangkan saja, Singabelis, salah satu setan, mengundang para dedemit untuk mencari Wisasawa, sang raja setan.

Begitu para dedemit datang, Singabelis bilang, "Selamat datang Gendruwo, selamat datang Thuyul, selamat datang Banaspati, selamat datang Panji Klanthung, selamat datang Wewe Gombel, selamat datang Asupeteng, selamat datang Setan Bekasakan, selamat datang siapa pun yang tak sanggup jadi manusia sekaligus enggan jadi malaikat.

Selamat datang di Lembah Syur, lembah awal pencarian sang raja setan." "Akulah raja setan. Akulah sang makrifat. Kita tidak perlu bersusah payah mencari Wisasawa yang berdiam di Hutan Hakikat," kata Gendruwo.

"Akulah raja setan. Tak ada raja lain yang memiliki Kitab Rabajik," kata Banaspati. "Akulah raja setan. Aku paling kaya. Tujuan akhir kehidupan adalah memupuk kekayaan," teriak Thuyul. "Akulah raja setan. Aku punya takhta tertinggi yang tak bisa ditandingi pemilik takhta dari mana pun," teriak Panji Klanthung.

"Akulah ratu setan. Tanpa aku tak akan ada kenikmatan percumbuan," bisik Wewe Gombel. "Akulah ratu setan. Seribu neraka telah aku punya. Jadi, mengapa harus mencari setan lain?" gumam Asupeteng. Singabelis geli mendengarkan segala celotehan setan. Singabelis pun bilang, "Kalian semua hanyalah cebong. Kalian semua hanyalah kampret. Kalian semua tak layak jadi raja setan. Kalian cuma sosok kerdil. Kalian tak punya mahkota dan pengetahuan yang bisa dibanggakan."

"Aku punya filsafat," kata Gendruwo, "Filsafat kekerasan. Siapa pun yang tak sepaham denganku, akan kubunuh. Siapa pun yang tak mau berjalan di jalanku, akan kuanggap musuh yang akan kubunuh pelan-pelan." "Aku punya pengetahuan," Banaspati. "Pengetahuan tentang jalan hampa. Jalan tanpa Tuhan. Jalan tanpa malaikat. Jalan tanpa manusia. Kau boleh menyebutnya sebagai Jalan Setan."

"Aku punya neraka," kata Thuyul. "Siapa pun yang enggan memuja Tuhan, nabi, dan malaikat tentu lebih memilih tinggal di nerakaku. Neraka merah muda. Neraka sejuk. Neraka tanpa api." Singabelis yang cantik sekaligus tampan murka mendengar kesombongan para setan. "Kalian semua sungguh-sungguh tak layak jadi makhluk utama.

Kalian berebut menjadi raja tetapi pikiran kalian sekelas hamba. Kalian ingin jadi serigala tetapi berhati domba. Akhirilah kesombongan kalian. Mari tanggalkan kesombongan dan mulai mencari raja setan sejati." "Raja setan sejati? Adakah raja setan yang tak sejati?" "Kalianlah raja setan tak sejati. Kalian tak pernah total menjadi setan," kata Singabelis. Singabelis tidak keliru.

Di Jawa, setan bukanlah makhluk paling digdaya. Jika ia paling digdaya, maka tak akan pernah muncul ungkapan setan ora doyan, dhemit ora ndulit. Ungkapan itu menunjukkan setan hanyalah makhluk inferior. Makhluk yang dikalahkan oleh manusia. Sebab, hanya manusialah yang kerap mendapatkan ungkapan setan ora doyan, dhemit ora ndulit.

Lalu siapakah raja setan sejati? "Manusia," kata Singabelis. "Manusia yang berjuluk Wisasawa. Manusia yang oleh manusia lain disebut sebagai jalma kang tumindake ngluwihi setan" Nah, apakah tindakan kita telah melampaui para setan yang tengah bermusyawarah itu? Semoga belum dan tak akan.(44)