image
22 April 2018 | Arsitektur

Selangkah Menuju Universal Desain?

  • Oleh Bangun Indra Kusumo RH

Beberapa hari ini, postingan pada linimasa media sosial maupun topik pergunjingan di grup pesan komunitas menampilkan jalur kuning pada trotoar di Indonesia yang luar biasa pesat penerapannnya.

Pada beberapa bangunan publik juga mulai terlihat jalan menanjak yang tidak berundak di sebelah tangga. Tak sedikit juga trotoar baru terpasang dengan ketinggian dibawah 20cm di beberapa sudut kota. Setelah fenomena-fenomena tersebut terlihat, mungkin dalam alam berpikir kita terbesit untuk merenungkan tentang iki jane kanggo apa to atau jika telah mengenal perancangan model seperti ini akan mulai nyinyir halah digawe tapi kok ora genah babar blas kerjaane.

Ya itu mungkin disebabkan oleh perkembangan regulasi atau jika pernah berkubang di area konstruksi bangunan mungkin pernah mendengar ”Desain aksesibilitas untuk bangunan gedung”. Menurut UU no 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas menyebutkan setiap Warga Negara yang menyandang disabilitas wajib dipenuhi kebutuhannya untuk dapat mengakses fasilitas-fasilitas umum dan mendapatkan perlakuan yang setara di segala bidang. Pada hal lain UU no 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak mengisyaratkan bahwa kebutuhan anak terhadap fasilitas umum juga perlu dipikirkan. Pada sisi Inpres tahun 29 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender mengamanatkan tentang keadilan terhadap setiap penduduk.

untuk itu Permen PU yang sudah diterbitkan Permen PU no 30 th 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas Aksesibilitas Bangunan Gedung dan Lingkungan yang sedang berusaha mengakomodasi pedoman untuk penyediaan sarana fisik bagi penyandang disabilitas tersebut, diperkuat dengan permen PERMEN PUPR 14/2017 ttg Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung memberi pedoman untuk menciptakan bangunan maupun lingkungan binaan yang dapat diakses mudah, aman, nyaman dan mandiri berkeadilan bagi semua orang, termasuk penyandang cacat dan lansia. Adanya regulasi-regulasi di Indonesia tersebut mengindikasikan bahwa ada usaha untuk memperbaiki desain. Seperti kata pepatah Tiada gading yang tak retak maupun perbaikan itu bermula dari kesalahan penyediaan fasilitas tersebut, beberapa mungkin belum diselenggarakan dengan baik sesuai filosofi pelayanan terhadap masyarakat yang dituju.

Hal ini mungkin karena desainer, kontraktor, pekerja bangunan tidak pernah merasakan menjadi penyandang disabilitas, lansia, lintas gender atau memiliki orang dekat yang memiliki status kempuan berbada maupun tidak pernah memikirkan orang dengan kemampuan yang tidak sama dengan dirinya. Salah satu prinsip mencapai kemudahan aksesibilitas yang berkeadilan adalah memfungsikan barang agar dapat digunakan oleh pemakai. Lalu siapa kah pemakai itu?

Jika pemakainya berbeda-beda kemampuan mengaksesnya lalu sudahkah kita mendesain agar semua pemakai dapat mengakses dan menggunakan kreasi kita itu?

Definisi Peruntukan

Mari kita ambil contoh kasus jalur pejalan kaki di jalan Sugiyopranoto yang merupakan bagian dari jalur lingkar pejalan kaki kelurahan kidul. Kita dapat menukil dari PermenPUPR 14/2017 bahwa jalur pejalan kaki adalah jalur yang digunakan oleh pejalan kaki atau pengguna kursi roda secara mandiri yang dirancang berdasarkan kebutuhan orang untuk bergerak secara aman, mudah, nyaman, dan tanpa hambatan. Dari peraturan dan beberapa tampilan gambar diatas, dapat kita temukan beberapa hal, seperti : definisi peruntukan yang sudah berkembang dari hanya pejalan kaki saja menjadi pejalan kaki dan pengguna kursi roda, persyaratan yang diamanatkan adalah aman, mudah, nyaman dan tanpa hambatan pada sisi peraturan dan hambatan-hambatan, potensi ketidakamanan yang member pengaruh pada kemudahankenyamanan. Semisal berubah-ubahnya dimensi yang dapat diakses oleh pengguna, ketidakberlanjutan sistem jalur pemandu, keberadaan piranti jalan yang menjadi hambatan akses. Keadaan tersebut dapat dikatakan kurang menerapkan peraturan yang berlaku. Kenapa masih kurang dan bukan tidak menerapkan??.

Pertanyaan emosional tersebut mungkin akan terlontar, tetapi jika kita menjawabnya setelah melihat adanya usaha untuk menyediakan. Ketersediaan fasilitas yang belum memenuhi peraturan yang ada memang menyebabkan disain perlu dievaluasi, diperbaiki dan dikembangkan.

Melalui paparan itu diharapkan dapat memancing semua pihak terutama para desainer, kontraktor pelaksana, dan pengguna fasilitas untuk mulai mengembangkan perancangan yang lebih universal. Seperti yang telah disebutkan di atas, desain yang universal itu dimulai dari keinginan untuk mendesain benda sesuai dengan kebutuhan pemakainya yang beragam dan mungkin kemampuannya berbeda dengan kita. Sehingga perlu untuk memperluas standar kebutuhan pemakai, semisal : dari yang hanya pemakai yang lakilaki berusia 25 tahun saja, diperluas dengan juga memikirkan kebutuhan untuk anak kita yang berusia 5 tahun atau nenek berusia 70 tahun menggunakan tongkat/kursi roda, dan atau mulai juga menambahkan hal yang aman, nyaman bagi penyandang tuna netra. Jika kurang mampu berimajinasi tentang kebutuhan pengguna tersebut, mari kita mulai membiasakan diri mengimplementasikan peraturan yang berlaku dan menghindari pemaksaan ego sebagai desainer. Marilah kita belajar untuk memahami diri dan orang lain sekitar kita untuk dapat melangkah menuju desain yang universal.(63)

— Bangun Indra Kusumo RH | Sinfar IAI Daerah Jawa Tengah