image

SM/Adi Purnomo - MENGUKIR : Pengukir mengerjakan motif perjamuan suci di salah satu tempat produksi karya kayu di Desa Mulyoharjo, baru-baru ini. (65)

21 April 2018 | Spektrum

Belakanggunung yang Terus Menggema

LEGENDA  alat ukir milik Sungging Prabangkara yang jatuh di sebuah tempat yang disebut Belakanggunung, masih terus melekat di kalangan perajin ukir dan mebel Jepara. Bagaimana tidak, pasang dan surutnya bisnis ukir dan mebel sering dikaitkan dengan hal itu. ”Lha moncernya ukir di Mulyoharjo (Belakanggunung) dikatakan karena menjadi tempat jatuhnya alat ukir. Kemudian katanya dicuri orang Tahunan makanya di sana mebelnya moncer.

Sekarang mulai menurun karena konon alat ukirnya kembali ke Mulyoharjo,” ungkap Kus Hariyadi, penulis buku Langgam Relief Jepara (2016). Memang hal tersebut tak sepnuhnya diyakini para pengukir. Hanya menjadi semacam celotehan namun mencerminkan kondisi kerajian ukir dan sejenisnya di Belakanggunung.

Ya, saat ini usaha ukir dan kriya kayu lainnya di wilayah tersebut memang masih terus bergeliat. Nyaris semua rumah di sana menjadi tempat usaha berbahan dasar kayu itu. Secara administratif, Belakanggunung bernama Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara Kota.

Sebutan Belakanggunung merujuk pada lokasi desa itu yang memang berada di sisi sebelah utara dataran tinggi yang membentang di sekitaran Taman Kerang hingga Pereng yang berbatasan antara Desa Mulyoharjo dengan Kelurahan Saripan.

Sementara di sisi selatan masuk pusat kota Jepara, termasuk pusat pemerintahan, di mana Raden Ajeng Kartini pada masanya tinggal. Sebutan Belakanggunung memang terekam dari tulisan Kartini dalam surat-suratnya.

Kus Hariyadi yang juga menulis buku Macan Kurung Belakang Gunung (2010) ini menyebut jika Belakanggunung memang identik dengan ukiran Macan Kurung. Itu tak lepas dari sosok Singowiryo dan saudaranya Asmo Sawiran. Singowiryo sendiri menjadi semacam kordinator para pengukir di Belakanggunung era Kartini.

Peduli

”Sebenarnya yang membuat pertama kali motif Macan Kurung adalah Asmo Sawiran. Motif Macan Kurung memang identik dengan Belakanggunung. Namun saat ini memang sudah jarang dibuat. Itu karena pasar kurang menerima, ” kata Kus Hariyadi.

Peneliti Hadi Priyanto menyebut karya ukir motif Macan Kurung memang identik dengan RA Kartini. Namun kehadiran Kartini di Belakanggunung tak hanya terkait dengan ukiran motif Macan Kurung. Putri dari Adipati Sosroningrat dan Ngasirah ini membangun kejayaan ukir secara umum di Belakanggunung.

Kenapa Kartini datang dan membangun kejayaan ukir di Belakanggunung padahal kerajinan ukir juga sudah berkembang di desa lainnya di Jepara? Hadi mengatakan itu tak lepas dari kondisi geografis dan sosial masyarakat Belakanggunung saat itu. ”Ciri RA Kartini itu care dengan masalah di sekitarnya. Salah satu yang menarik baginya adalah ukir. Di Belakanggunung, ia care karena warga setempat miskin padahal karyanya bagus.

Selain itu, Belakanggunung juga dekat dengan pendapa,” tutur Hadi. Permasalahan yang ditemukan Kartini di Belakanggunung, lanjut dia, karya ukir yang dihasilkan terlalu konservatif sehingga sulit diterima pasar kerajinan saat itu.

Selain itu, tidak ada pula yang memasarkan karya-karya para perajin. Kartini kemudian mengumpulkan para perajin di belakang pendapa. Ia mengajari agar pengukir membuat barang baru sesuai keinginan pasar.

Bahkan Kartini berani menerima pesanan wayang dari kayu maupun ukir motif pewayangan. Padahal saat itu hal tersebut tabu. Peran RA Kartini tak cukup di situ. Ia menyediakan bahan baku, memasarkan dengan cara yang cukup modern dan keuntungannya diberikan kepada para pengukir sendiri.

Campur tangan RA Kartini ini, lanjut Hadi, membuat kerajinan ukir di Belakanggunung bergeliat sampai saat ini. Sumarno, Ketua Paguyuban Desa Wisata Industri Kreatif Desa Mulyoharjo pun mengaku peran RA Kartini dalam membangun industri ukir di Belakanggunung masih melekat.

Tak hanya kaitannya dengan karya ukir Motif Macan Kurung, melainkan ukir secara umum. Nama Belakanggunung pun menjadi terkenal sebagai daerah dengan para pengukirnya yang kreatif. Mereka terus menjadikan keahlian ukir sebagai profesi hingga mencapai puncaknya pada tahun 1996-1997.

”Pada kisaran tahun 1992 dan sebelumnya, Belakanggunung masih identik dengan pembuatan lemari, meja dengan ukir-ukiran, juga dengan motif-motif pewayangan. Saat itu ukir motif Macan Kurung masih cukup banyak,” tutur Sumarno.

Perajin

Namun saat itu tercatat hanya 20-an warga Belakanggunung yang menjadi perajin. Warga lainnya hanya menjadi tukang ukir. Di kisaran 1992 hingga 1993 itu banyak pengukir yang merantau ke luar daerah untuk menjadi tukang ukir di sana.

Kisaran tahun 1995, perkembangan industri ukir di Belakanggunung makin pesat. Banyak warga yang sebelumnya hanya menjadi tukang ukir membuka usaha sendiri. Puncak perkembangan terjadi pada awal 1996 hingga 1997. Saat itu, pembukaan usaha sendiri kian banyak.

Hal itu tak lepas dari melimpah dan murahnya bahan baku. Baik kayu jati, mahoni maupun trembesi (meh). Pengukir yang banyak merantau pun kembali. Sumarno menyebut, pada 1993, mulai banyak perajin yang membuat motif patung.

Karena saat itu banyak tamu dari Tiongkok maupun Taiwan. Sampai saat ini pun patung masih menjadi primadona di Belakanggunung. Sejak 1997, para perajin sekaligus pemilik usaha ukir dan mebel terus berkreasi dengan berbagai jenis karya.

Mulai dari furnitur untuk keperluan interior rumah, patung hias dengan motif aneka binatang, patung dewa dan barang kerajinan sederhana seperti wadah buah dan lainnya. Termasuk juga ukir motif perjamuan suci dalam tradisi kristiani. Kawasan Belakanggunung atau Mulyoharjo kini disebut sebagai sentra patung dan ukir.

Adapun Petekeyan Kecamatan Tahunan disebut kampung semdaba ukir, karena lebih banyak berkreasi dengan karya kayu untuk keperluan rumah tangga. Desa Bulungan Kecamatan Pakis Aji yang menjadi sentra lemari, banyak memroduksi lemari berbagai bentuk, jenis dan ukuran.(Adi Purnomo-65)