image

SM/Jean Demmeni - TIGA SAUDARA : Kartini (kanan) bersama dua adiknya Roekmini (tengah), dan Kardinah saat membatik di sebuah taman pada tahun 1898. (65)

21 April 2018 | Spektrum

Kartini Mengangkat Kerajinan Jepara

BERKISAH  perjuangan Raden Ajeng Kartini yang sedemikian panjang mustahil mencapai kesempurnaan. Ada banyak sisi yang belum terungkap. Demikian pula banyak suratnya tak semua termuat dalam buku Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Tumbuh dalam masa peralihan, akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika nilai-nilai modern dari Eropa bertabrakan dengan foedalisme di Jawa, berperan besar membentuk jiwa dan watak putri Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat tersebut.

Dalam usia belasan, putri gilanggemilang ini tak hanya berjuang melawan kebodohan dan kemelaratan, namun juga menghadapi tirani adat istiadat yang mengungkung kaumnya.

Bersama dua adindanya, Roekmini dan Kardinah, kecintaan mereka terhadap rakyatnya sedemikian besar. Termasuk upaya mengembangkan kerajinan tangan warga di desa-desa, termasuk ukiran yang kini menjadi produk ikon Jepara yang sohor di seluruh dunia.

Sebagaimana ditulis wartawati Suluh Indonesia, Sitisoemandari Soeroto dalam buku Kartini Sebuah Biografi (1976), sejak zaman kuno Jepara terkenal dengan kesenian ukir-ukirannya. Maka tak salah bila kerajinan ini mendapat perhatian khusus ”Tiga Saudara”, Kartini dan kedua adiknya.

Selain kagum, mereka tahu produk ini memiliki masa depan yang cerah bila dikelola baik. Dari banyak pengukir di Jepara, menurut Kartini yang paling menonjol terdapat di Desa Belakanggunung. Desa yang mendapat namanya karena terletak di belakang bekas Fort Portugis yang berdiri di sebuah gunung.

Ketika masa pingitan Kartini dan kedua adiknya berakhir meski belum mendapat pinangan, mereka suka datang ke Belakanggunung untuk duduk dan melihat-lihat para pengukir bekerja. Karena itu mereka mengenal baik rakyat di Belakanggunung. Begitu pula orangorang desa itu mengenal bendoro-bendoronya sejak kecil waktu sering diajak ayahnya meninjau desa tersebut.

Dari rumah-rumah yang reot, dan dengan alat-alat sangat sederhana, orangorang Belakangggunung mewarisi kemampuan mengukir yang diwariskan turun-termurun dari ayah-ayah mereka sejak zaman kuno. Di Jepara ada banyak desa yang mengerjakan mebel, sehingga mengherankan hanya di Belakanggunung seni ukir begitu mengakar.

Menurut kepercayaan hanya Desa Belakanggunung yang memiliki danyang yang hanya pada keturunannya sendiri memberikan kemahiran dalam mengukir. Di kampung itu ada banyak anak-anak berkeliaran, setengah atau bertelanjang seluruhnya.

Badannya kotor seperti baru mandi lumpur, sebab banyak di antara mereka adalah penggembala kerbau. Namun bocah-bocah kotor inilah yang kelak akan meneruskan kemahiran bapak mereka membuat ukiran yang tiada duanya.

Sejak kecil, mereka menunjukkan bakat hebat sebagai pengukir. Dengan sebatang kayu atau batu yang runcing, anak-anak ini mahir membuat berbagai motif yang digambar di atas tanah. Dinding rumah, jembatan, bahkan tembok di belakang kabupaten pun tak aman dari goresan tangan mereka dengan menggunakan arang.

Dalam suratnya tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Abendanon, istri Jacques Henrij Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda tahun 1900-1905, Kartini tak habis-habisnya menyatakan keheranannya. ”Siapakah yang telah membentuk mereka? Menuntun mereka, anak-anak sawah dan ladang yang adoh lonceng, perak celeng itu?”

Adapun dalam surat kepada Nellie Van Kol, seorang feminis Belanda yang juga istri insinyur dalam pembangunan pengairan di Hindia Belanda, sepekan setelah surat kepada Ny Abendanon, Kartini menulis, ”Siapa yang menuntun mereka sampai dapat menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang begitu elok. Gambaran murni dan sempurna, keseluruhannya sangat harmonis.

Bagaimana itu mungkin di tempat sederhana ini yang jauh dari dunia beradab?” Sayang karena tak ada yang menuntun dalam pengembangan teknik dan pemasaran, ukiran yang indah itu tak mendapat kemajuan berarti. Dari penyelidikan Kartini dan kedua adindanya, pendapatan para pengukir ini sangat jauh dari jerih payah serta mutu hasil karya mereka yang begitu halus.

Hal ini sangat menyedihkan Kartini, karena dirasakan tak adil. Ia melihat betapa buruk kondisi ekonomi para pengukir padahal mereka sangat cakap dan rajin dalam bekerja.

Kesempatan Kartini membantu perekonomian pengukir di Belakanggunung, akhirnya mendapat jalan di kemudian hari. Ketika ia berhasil membangun hubungan dengan para sahabat Belanda-nya yang berpengaruh di Batavia (Jakarta) dan Semarang.

Timur dan Barat

Pada tahun 1898, dalam usia 19 tahun, Kartini membuat kagum publik Belanda bahkan Ibu Suri Ratu Wilhelmina, saat karya bersama dua adiknya berupa batik dan keterangan lengkap cara pembuatannya, dikirimkan dan dipajang dalam Pameran Nasional untuk Karya Wanita di Den Haag.

Pameran itu kemudian menghasilkan lembaga bernama Oost en West (Timur dan Barat) yang tujuannya menghidupkan kerajinan tangan pribumi yang merosot. Hubungan baik dengan Oost en West itulah, membuat Kartini melihat peluang memasarkan ukir-ukiran.

Ia lantas memanggil Pak Singowiryo, pengukir yang paling terkenal saat itu untuk menghadap ke kabupaten. Pak Singo kemudian ditunjuk sebagai pemimpin pengrajin yang membawahkan tukang-tukang.

Selanjutnya mereka diberi tugas membuat produk ukiran untuk barang kecil seperti tempat rokok, tempat jahitan, meja kecil, dan sebagainya. Setelah pekerjaan selesaai, barang-barang itu dikirim Kartini ke Semarang dan Jakarta dengan perantara Oost en West untuk dijual. Dengan cara demikian Kartini mendapat harga yang layak.

Harga penjualan hanya dipotong untuk sekadar ongkos kirim, selebihnya diberikan seluruhnya kepada pengukir. Setelah mendapat pasaran yang bagus, kemudian datang pesanan dari mana-mana. Tiap kali pesanan datang, Kartini bersorak-sorak mengkin lebih gembira dari pengrajin itu sendiri.

Sementara para tukang bukan main berterima kasih kepada Bendoro Raden Ajeng Kartini, dan bekerja makin rajin. Bupati Sosroningrat, ayahanda Kartini, juga memasan seperangkat mebel bagus untuk kabupaten. Sebagian dalam ukiran relief, sebagian lagi dipahat mendalam.

Adapun Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningratjuga memesan banyak papan terukir untuk dipasang di serambi belakang Kabupaten Demak. Putri kabupaten yang kaya inisiatif ini, lantas memikirkan desain-desain anyar yang belum pernah dibuat para pengukir Jepara.

Pilihannya kepada gambar wayang, mulanya membuat takut para pemahat karena mereka menganggap gambar wayang keramat. Siapapun yang berani mengukirnya akan mendapat dosa dan bala. Bupati Sosroningrat kemudian turun tangan dan menyatakan akan menanggung segala-galanya bila ada akibat yang tak baik.

Motif wayang itu kemudian masuk dalam seni ukir Jepara yang seterusnya menjadi sangat populer. Selain seni batik dan ukir, Kartini juga memperhatikan kerajinan-kerajinan lain di Jepara termasuk pertukangan emas.(Wahyu Wijayanto-65)

 

Penyunting: Wahyu Wijayanto