image

Foto-foto SM/Agung Mumpuni - Istano Baso atau Istana pagaruyung yang megah

29 April 2018 | Jalan-jalan

Jatuh-Bangun Istano Baso

  • Oleh Agung Mumpuni

ISTANOBaso atau lebih populer disebut Istana Pagaruyung di Kecamatan Tanjung Emas, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, dulu tempat tinggal raja sekaligus pusat pemerintahan. Kini, istana itu menjadi cagar budaya.

Untuk masuk ke istana, kita harus membeli tiket. Tiket bagi wisatawan lokal dewasa Rp 7.000 dan anakanak Rp 5.000, sedangkan wisatawan asing dewasa Rp 12.000 dan anakanak Rp 10.000. Istana itu dibuka pada pukul 10.00- 16.00. Istana Pagaruyung beberapa kali terbakar. Istana asli didirikan di atas Bukit Batu Patah. Sang pendiri adalah Raja Adityawarman, bangsawan keturunan Majapahit dan Minangkabau, pada 1347. Istana itu terbakar habis pada kerusuhan berdarah saat penjajahan Belanda 1804.

Istano didirikan kembali, tetapi kembali terbakar pada 1966. Pada 27 Desember 1976, Gubernur Sumatera Barat, Harun Zain, membangun kembali. Namun tidak di lokasi asli, tetapi di sebelah selatannya. Sayang, pada 2007 istana itu kembali terbakar karena bagian puncak tersambar petir. Setelah direnovasi, istana dibuka untuk umum pada 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Meski tak orisinal, Istana Pagaruyung tetap ramai pengunjung. Istana di pinggir jalan raya itu megah. Bangunan itu cukup besar dengan ukiran dan warna khas pada dinding kayu rumah gadang beratap meruncing di kedua sisi. Makin dekat, keindahan kian jelas. Latar belakang bukit menghijau membuat pemandangan makin memesona.

Khas Minangkabau

Istana itu terdiri atas 11 gonjong, 72 tonggak, dan tiga lantai. Ada beragam ukiran yang memiliki falsafah tersendiri. Di lantai satu ada ruangan bagi raja menjalankan pemerintahan. Ada pula tujuh bilik bagi para putri raja yang telah menikah. Ruangan lapang memanjang beratap tinggi. Hiasan kain cerah warna-warni dan pernak- pernik keemasan mendominasi.

Sisi paling kiri Anjuang Perak, tempat Bundo Kanduang (Ibu Suri) berapat, beristirahat, dan tidur. Ada pula bagian khusus di tengah-tengah lantai satu, sejajar pintu masuk. Itulah Singgasana, tempat kedudukan Bundo Kanduang.

Di sana terpajang foto raja terakhir Pagaruyung, Sultan Alam Bagagarsyah. Di sisi kanan lantai satu ada Anjuang Rajo Babandiang, tempat sidang, beristirahat, dan tidur bagi raja dan permaisuri. Di Anjuang Rajo Babandiang ada boneka berbusana adat Minangkabau. Dari lantai satu, jangan buru-buru naik ke lantai dua.

Dari balik Singgasana, ada jalan keluar di dekat tangga kayu menuju ke selasar. Itulah penghubung bangunan inti istana dan dapur. Pemandangan di kanan-kiri selasar cukup apik. Di dapur ada replika peralatan memasak masa lalu. Semua dari tanah liat. Dari dapur, kita bisa kembali ke lantai satu menuju ke lantai dua.

Ruangan di lantai dua cukup lapang memanjang. Tak banyak peranti terpajang. Inilah Anjungan Paranginan, tempat bercengkerama para putri raja yang belum menikah atau gadis pingitan. Di sisi kiri ada kamar peristirahatan putri raja dengan tirai memanjang dari atap hingga lantai, jadi semacam kelambu. Hiasan kain didominasi kuning keemasan. Bergantungan pula lampu antik. Di sisi kanan, berdekatan dinding kayu, ada kursi kayu antik, lengkap dengan meja dan keramik bundar.

Di sudut ruangan dekat jendela, ada kotak kuno penuh ukiran untuk menyimpan perkakas putri raja. Di lantai tiga ada Mahligai, tempat penyimpanan alat kebesaran raja, yang disimpan dalam peti khusus bernama Aluang Bunian. Jika di lantai satu dan dua beralas kayu, lantai tiga dilapisi tikar rotan. Di lantai yang tak terlalu luas itu ada tiga kursi kayu dan satu meja bundar serta lampu gantung.

Di dinding kayu dipajang alat perang, dari pedang, tombak, sampai pestol. Selain utama istana, ada beberapa bangunan lain, seperti dua buah Tabuah Larangan, yakni Gaga di Bumi dan Mambang di Awan. Di istana ini, kita bisa mengenakan baju khas Minangkabau dengan membayar sewa Rp 35.000.(44)