image
28 April 2018 | Ekspresi Suara Remaja

BACA BUKU

Islamisme Media dan Politik Pemberitaan

PERBEDAAN  sikap (angle) pemberitaan dari lima media di Indonesia dan Malaysia yang diteliti Janet Steele menerbitkan kesadaran baru perihal Islam. Penafsiran tentang Islam sebagai nilai-nilai kehidupan tidak monolit.

Janet menggolongkan media berdasar praktik berislam para jurnalis dengan kerangka Barat. Meski dia mengkritik cara Barat memandang islamisme media yang identik dengan Arab, kontrol pemerintah, dan terorisme.

Dia meneliti dua media Malaysia, Malaysiakini (Islam sekuler) dan Harakah (Islam politik), serta tiga media Indonesia, Tempo (Islam kosmopolitan), Republika (Islam sebagai pasar), dan Sabili (Islam skripturalis).

Dia meniliti dengan pendekatan etnografis dan historis serta menggunakan bahan riset selama 20 tahun meneliti dan mengajar di Indonesia dan Malaysia (halaman 14).

Media itu punya isu besar yang membuat tetap punya kesamaan dalam perbedaan sikap, yakni fokus pada isu keadilan dan independensi. Artinya, mereka memiliki musuh bersama yang diterjemahkan sesuai dengan penghayatan media masing-masing terhadap nilai-nilai keislaman.

Dalam konteks Indonesia, ketidakadilan terjadi pada masa Orde Baru. Tempo (berdiri 1971 - sekarang) dan Sabili (1984-2003) menglami represi. Tempodibredel pada 1997 setelah menginvestigasi skandal korupsi pembelian kapal perang.

Sikap kritis dan subtil kepada negara adalah bagian dari keberpihakan Tempo ke masyarakat (237). Tempo bangkit lagi pada 1998 dan kini tetap setia mengetengahkan jurnalisme investigasi.

Sabili dicap ekstrem kanan karena memberitakan kebrutalan militer pada tragedi Tanjung Priok 1984. Majalah itu sejak awal merengkuh Islam secara politik dalam pemberitaan sehingga terus-menerus diawasi.

Sabili menyikapi posisi umat Islam yang dipinggirkan dengan advokasi pemberitaan. Orde Baru akhirnya membredel Sabili. Sejak reformasi 1998, Sabili terbit lagi. Namun tutup lima tahun kemudian karena masalah keuangan (47-48).

Tanpa Sensor

Lain ladang, lain ilalang. Kontrol media begitu kuat di Malaysia, meski telah masuk abad ke-21. Kebebasan ekspresi di sana seperti kala Orde Baru. Media bisa dibredel dengan dalih fitnah kriminal dan negara dapat mencabut, mengabulkan, atau menolak surat izin penerbitan media tanpa peninjauan pengadilan (160).

Malaysiakini (lahir November 1999- sekarang) melawan arus dengan membicarakan agama di ruang publik. Itu sebagai wujud indepedensi media online. Media itu bersifat multiras, multietnis, dan multiagama (158). Mereka dicap sebagai Melayu (etnis mayoritas) liberal.

Kadang juga antiislamisasi dan antipemerintah. Mereka memberitakan apa saja, tanpa sensor sebagaimana media arus utama yang dikontrol perorangan atau kelompok yang dekat dengan Barisan Nasional, partai penguasa (185).

Misalnya, dalam kasus video seks Anwar Ibrahim, wakil perdana menteri (179) dan pelemparan sepatu oleh seorang imam Masjid Ar-Rahimah di Kampung Pandan, Kuala Lumpur, ke seorang hakim di pengadilan.

Media itu meletakkan Islam sebagai nilai-nilai yang dihayati secara kontekstual. Media menjadi alat perjuangan dan perlawanan terhadap situasi dan konteks zaman yang mengekang umat Islam.

Illat perlawanan begitu kental, sehingga pada titik penghayatan Islam memunculkan respons yang tak monolit. Itulah bentuk islamisme media yang beragam penafsiran, tetapi satu tujuan: agama sebagai lorong pembebasan.

Setidaknya selama periode penelitian itu, pendulum Islam berayun ke isu-isu penindasan. Mungkin kini, ketika aroma islamisme media begitu kental nuansa politik, Janet perlu melanjutkan penelitiannya, terutama saat pemilihan kepala daerah di Jakarta.

Dalam politik pemberitaan, media itu memiliki pedoman Alquran (49: 6); ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Konsistensi verifikasi sesuai dengan ayat itu membentuk konsep dasar jurnalisme media (19). Media mempraktikkan adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan —meminjam istilah Pramosedya.(Zakki Amali,anggota AJI Semarang-44)