image
28 April 2018 | Ekspresi Suara Remaja

Ada ”Copet” dalam Keseharian Kita

KOMUNITAS  Seni Politeknik Negeri Semarang (Konsep) melalui Teater Kolam Kodok mempersembahkan drama ”Copet”, Selasa (10/9). Bertabur umpatan khas Jawa, namun sarat wejangan.

Adegan dibuka dengan seorang lelaki tua dan si ”mbah” penunggu pohon. Tak cuma bercakap dengan si mbah, sang lelaki tua juga mengajak penonton berdialog.

Lalu, ada Sari, seorang perempuan depresi yang tengah mengutuk kejamnya kehidupan. Si ayah melakukan kekerasan karena tak puas dengan servis si ibu, sedangkan si ibu selalu mengeluhkan jatah bulanan dari si ayah.

Menghibur Sari, muncul lah Orang Gila. Dengan bijak, Orang Gila berkata bahwa hidup laksana ”copet”. Sari yang tak paham ucapannya, jadi bingung dibuatnya.

Dan, drama pun dimulai.... Beberapa detik setelah lampu dimatikan, panggung gemerlap dengan masuknya seluruh tokoh. Ramai-ramai mereka menari sembari seakan sedang membuka hari.

Hingga akhirnya tersisa dua perempuan, yakni Mbok Nah dan Wengi, serta tiga pria: Suarip, Bagio, dan Gatot. Kelimanya terlibat percakapan soal Wengi yang baru saja pentas menari Sintren di kota. Orangorang kota yang menyenangi pementasan itu lantas ingin mendatangi desa untuk menonton pentas tari Wengi.

Atas nama melestarikan warisan budaya leluhur, Wengi mengiyakan. Hari yang ditentukan pun tiba. Seluruh penduduk desa, tua-muda, perempuan-pria, berkumpul bersama untuk menyaksikan penampilan Wengi.

Warga pria merubung Wengi sembari memberi saweran. Di tengah keriuhan menari, Wengi malah pingsan. Joni, lelaki yang sudah lama menaruh hati pada Wengi, tercenung menyaksikan sang kekasih hati lunglai.

Ia lantas mempertanyakan keserakahan manusia. Tarian yang sejatinya warisan leluhur, malah jadi ajang jual-beli dan penghibur nafsu semata. Inilah ”copet” yang sesungguhnya: mereka-mereka yang mengusik kearifan lokal.

Ramai Penonton

Acara yang berlangsung di Kantor Kelurahan Sumurboto, Tembalang, Semarang itu tak menyisakan ruang kosong. Maklum, 415 tiket ludes terbeli, dengan tambahan 61 tiket untuk tamu undangan.

Angka yang fantastis untuk mengapresiasi teater anak muda. ”Kami tidak menyangka sebanyak itu yang menonton ‘Copet’. Saking larisnya, kami sempat kebingungan menyiapkan tiket fisik tambahan,” jelas Pimpinan Produksi ”Copet”, Eko Setiaji.

Hampir sepanjang acara menggunakan bahasa Jawa, ”Copet” mengajak penonton menertawakan realita. Ya, bahasan serius soal pergeseran budaya dengan dialog yang jenaka.

Gurauan sehari-hari dengan tokoh-tokoh yang realistis membuat drama ini terasa dekat dengan keseharian kita. Akting para lakon, termasuk gestur dan intonasi, terasa pas. Pun halnya dengan iringan gamelan dan lagu yang menghidupkan atmosfer drama.

”Soal gamelan, kami ingin ‘memaksa’ penonton untuk menikmatinya. Soalnya, para penonton yang sebagian besar anak muda mungkin tidak pernah atau tidak mau dengar gamelan.

Nah, dalam pementasan ini kami ingin membuktikan bahwa gamelan ternyata masih bisa dinikmati,” ujar Eko. Teater ”Copet” mengingatkan kembali soal ketamakan manusia.

Tanpa melenceng dari tema utama, secara cerdas naskah ”Copet” menyentil ”setan” anggaran alias para koruptor, mengkritisi pendidikan, hingga penjajahan para investor.

Eko berharap Teater Kolam Kodok bisa kembali menghadirkan drama yang segar dengan mengangkat isu sosial yang bisa diterima oleh semua kalangan, khususnya kawan-kawan muda.(Sofie Dwi Rifayani-63)