image

Foto: unikarea.blogspot.com

11 Januari 2018 | 21:06 WIB | Kronik

Kisah Mistis di Balik Plengkung Madyasura

Memasuki Kota Yogyakarta, maka Anda akan disuguhi pemadangan lima buah gerbang kraton yang teramat megah. Gerbang-gerbang itu juga biasa disebut dengan "Plengkung".Yakni Plengkung Tarunasura di timur alun-alun utara, Plengkung Madyasura di sisi timur Kraton, Plengkung Nirbaya di sisi selatan alun-alun Kidul, Plengkung Jagabaya di sisi barat tembok benteng kraton, dan Plengkung Jagasura di sisi barat Alun-alun Utara.

Dari kelima plengkung itu, ada satu plengkung yang menyimpan legenda dan membuat siapapun merinding mendengar kisahnya. Adalah Plengkung Madyasura yang ditutup sejak 23 Juni 1812. Oleh sebab itu plengkung ini dikenal sebagai Plengkung Buntet (tertutup). Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII, plengkung tersebut dibongkar dan kemudian diganti dengan gapura gerbang biasa.

Menurut legenda yang berkembang di masyarakat, setiap sore dari plengkung yang sudah ditutup itu terdengar teriakan-teriakan minta tolong,”Biyung ..., tulung ...”, yang artinya, ”Ibu ..., tolong ...”. Sejak itu, muncullah nama baru "Biyung Tulung" untuk sejenis makhluk halus itu.

Asal mula teriakan itu bermula dari kehidupan seorang pemuda tampan bernama Kartipeya yang suka mengganggu perempuan. Banyak orang tua yang takut anaknya diganggu. Penduduk setempat mencari cara agar Kartipeya tidak berbuat kurang ajar. Namun sayang, hasilnya nihil.

Atas dorongan salah seorang tetua di wilayah itu, dilakukanlah penyelidikan untuk mengetahui kesaktian Kartipeya. Dari penyelidikan orang-orang kampung diperoleh keterangan bahwa setiap Kamis malam, Kartipeya selalu pergi ke hutan Krendhowahono. Konon, di hutan itu Kartipeya bertemu dengan Batari Durga setiap menjelang pukul tiga dini hari.

Dikubur Hidup-hidup

Dalam semadinya, Kartipeya punya keinginan agar tertus digandrungi perawan-perawan di kampung atau di desa mana saja yang didatanginya. Mendengar permintaan itu, Batari Druga tersenyum dan menjawab bahwa permintaannya akan dikabulkan, asalkan ia tidak berbuat mesum di bawah Pelengkung Madyasura. Kartipeya menyanggupinya.

Batari Durga kemudian membuka lengannya lalu mencabut satu helai bulu ketiaknya dan memberikannya kepada pemuda itu. Sang Batari berpesan agar Kartipeya membungkusnya dengan kain putih. Jika ia melanggar ketentuan yang dikatakannya, ia akan mendapat malu bahkan tewas. 

Tatkala informasi ini disampaikan kepada tetua di kampung itu, segeralah tetua itu mendatangi seorang sakti yang dikenal dengan nama Kiai Wirong Sardula. Ia meminta agar Kartipeya cukup dibuat malu dan jangan sampai dilukai, apalagi dibunuh. Sesudah tetua itu menyatakan kesanggupannya memegang janji, Kiai Wirong Sardula segera memberikan tiga batang lidi enau yang harus diletakkan di bawah Plengkung Madyasura.

Hari berikutnya, di kampung itu terdengar berita bahwa Kartipeya menaruh perhatian kepada Rara Sukresthi, salah seorang perawan yang dikenal sangat cantik. Ini artinya, pada malam nanti, di kampung itu pasti terjadi sesuatu. Oleh karena itu, selepas magrib, tetua itu segera meletakkan tiga buah lidi pemberian Kiai Wirong dengan harapan Kartipeya akan lupa pesan Batari Durga dan melanggar pantangannya. Lidi itu akan bertenaga menarik Kartipeya masuk ke bawah Plengkung Madyasura yang seharusnya dihindari.

Beberapa orang pemuda diminta bersiap-siap tidak jauh dari Plengkung itu. Tujuannya, jika Kartipeya masuk ke bawah pelengkung, mereka akan berteriak-teriak.

Apa yang kemudian terjadi sesuai dengan rencana. Menjelang tengah malam, Kartipeya menggelandang Sukresthi masuk ke bawah Pelengkung Madyasura. Begitu kaki Kartipeya menginjak tanah Pelengkung Madyasura, ia berteriak keras. Ia mengira, tiga buah lidi itu tiga ekor ular. Bersamaan dengan itu, muncullah pemuda-pemuda sambil membawa obor serta berteriak-teriak.

Akan tetapi, yang terjadi justru di luar kendali. Salah seorang pemuda yang juga menaruh hati pada Sukresthi membakar Kartipeya dan pemuda lainnya melempari dengan batu. Bahkan lebih ganas lagi, mereka menyerbu dan memukul Kartipeya dengan pentungan dan senjata tumpul lainnya.

Kartipeya takut kalau Sukresthi ikut terluka. Ia mencoba melindunginya dengan cara mendekapnya. Akan tetapi, pemuda yang menaruh hati pada perawan itu semakin panas, cemburu, dan marah. Ia mengacungkan tangannya dan memberikan perintah agar mereka dikubur hidup-hidup.

Sejak saat itu, Pelengkung Madyasura tertutup. Itulah sebabnya, dahulu seringkali terdengar suara mengadu,”Biyung ... tulung”. Menurut penduduk sekitar, itulah suara penyesalan Kartipeya.

(Berbagai sumber /SMNetwork /CN41 )