29 April 2018 | Internasional

Periskop

Mungkinkah Asa Damai Jadi Nyata?

PERTEMUANbersejarah antar dua Korea telah terlaksana. Di desa perbatasan Panmunjom, pemimpin kedua negara pada Jumat (27/4) sepakat untuk mengakhiri Perang Korea. Namun benarkah pertemuan ini bisa benar-benar berujung perdamaian?

Bagaimanapun, dampak simbolis dari bagaimana Pemimpin Korut Kim Jong-un menginjakkan kaki untuk kali pertama di wilayah Korsel tidak bisa diremehkan. Keputusan berani Jong-un melangkah ke wilayah yang secara nominal tidak bersahabat mencerminkan kepercayaan diktator muda itu. Pada Jumat (27/4), Jong-un menjadi pemimpin Korut pertama yang menginjakkan kaki di wilayah Korsel sejak Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata sekitar 65 tahun silam.

Di sisi lain, sikapnya yang cerdas dan tampak spontan selama pertemuan menunjukkan bahwa dia tidak bisa diremehkan. Undangannya pada Jae-in untuk berkunjung ke Korut seolah menegaskan persamaan kedua negara dan para pemimpin mereka.

Bagaimana Jong-un dengan penuh percaya diri dan santai berbicara kepada pers juga telah memadamkan gambaran pemimpin yang jauh, kaku, dan otokratis. Dengan kondisi yang seperti itu, wajar jika ada yang berpendapat bahwa pertemuan ini adalah kemenangan propaganda bagi Jong-un.

Namun tak bisa dinafikan, pertemuan ini tak lepas dari keberhasilan Moon Jae-in jauh lebih terbuka untuk meninggalkan cara-cara konservatif dan mencoba mengejar kesepakatan tanpa berbagai syarat. Inilah yang mungkin bisa mengubah segalanya. Sejauh ini Moon Jae-in lebih proaktif dalam menciptakan peluang untuk rekonsiliasi kedua Korea.

Upayanya cukup sukses untuk ”menggiring” Korut kembali ke meja perundingan, bahkan menjadikan Jong-un pemimpin Korut pertama yang menginjakkan kaki di Korsel usai Perang Korea.

Dengan kondisi seperti ini bukan tidak mungkin, kesepakatan ini akan membawa kedua Korea ke arah damai yang abadi. Deklarasi bersama yang disepakati Jumat lalu sejatinya menggemakan tema-tema kesepakatan di masa lalu, termasuk yang disepakati para pemimpin Korea sebelumnya pada tahun 2000 dan 2007, dan Perjanjian Rekonsiliasi bilateral dan Non-Agresi tahun 1991 sebelumnya. Korut dan Korsel kali pertama melakukan pembicaraan damai pasca-Perang 1950-1953 pada 1971.

Saat itu, kedua Korea menyepakati prinsip-prinsip dasar untuk menuju reunifikasi yang harus ditempuh lewat tiga cara. Ketiga cara itu adalah upaya independen kedua Korea, langkahlangkah damai, dan mempromosikan persatuan nasional serta menghilangkan perbedaan dalam ideologi dan sistem.

Naik Turun

Meski persetejuan sudah diteken, namun kesepakatan ini dengan cepat ambruk karena minimnya niat tulus para pemimpin kedua negara untuk menindaklanjuti langkah yang sudah diambil.

Korut memandang dialog antara kedua negara adalah cara untuk menjauhkan Korsel dari AS dan Jepang. Sementara pemimpin Korsel saat itu Park Chung-hee melihat dialog itu sebagai jalan untuk mengonsolidasikan pemerintahan otoriternya. Pada 1980-an, terjadi perubahan di saat Perang Dingin pecah dan rekonsiliasi Korea untuk sekali lagi nampak amat berpeluang.

Olimpiadi Seoul 1988 menjadi pendorong Korsel untuk meningkatkan hubungannya dengan Korut dengan memastikan negara itu berpartisipasi dalam Olimpiade. Olimpiade Seoul dikenang sebagai ajang olahraga yang paling banyak diikuti negara-negara kedua blok yang terlibat perang dingin, termasuk Uni Soviet dan Tiongkok.

Namun, momentum baik itu tercoreng ketika Korut meledakkan pesawat milik maskapai penerbangan Korsel yang menewaskan 115 orang pada 1987. Dengan status internasional Korsel yang sedang ”moncer” saat itu serta diplomasi aktif menuju normalisasi hubungan dengan Uni Soviet dan Tiongkok, Pyongyang bersedia berunding dengan Seoul.

Pada 1991, kedua Korea sekali lagi bertemu untuk mebahas rekonsiliasi dan menandatangai Kesepakatan Dasar. Dalam kesepakatan itu ditegaskan hubungan kedua Korea bukan merupakan hubungan dua negara berbeda tetapi satu negara melalu sebuah ”proses khusus” menuju reunifikasi.

Pada 1992, kedua negara mendeklarasikan penandatangan Deklarasi Bersama tentang Nuklirisasi Semenanjung Korea. Namun, pada akhir 1992 hubungan kedua Korea menegang. Korut menolak inspeksi Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan mengecam gelaran latihan militer besar AS-Korea Selatan. Pembicaaran berikutnya terjadi pada 2000, ketika kedua negara menggelar KTTpertama yang menghasilkan kesepakatan paling substansial yang pernah ada.

Dua presiden Korsel Kim Daejung dan Roh Moo-hyun sama-sama mengingingkan perubahan bertahan Korut menuju reunifikasi melalui kerja sama dalam hal kemanusiaan, ekonomi, politik, sosial, dan isu-isu lain. Namun, karena dihadapkan pada provokasi Pyongyang dan program pengembangan nuklir, maka kebijakan yang dibuat kedua presiden Korsel ini memilili banyak keterbatasan. Ditambah perilaku Pyongyang yang semakin memperburuk hubungan kedua negara.

Uji coba muklir dan misil ditambah provokasi seperti serangan torpedo terhadap kapal AL Korsel dan pengeboman sebuah pulau di Korsel merusak semua hasil pembicaraan yang dicapai sebelum KTT2000. Apa yang terjadi di masa lalu menunjukkan rekonsiliasi tak bisa terwujud tanpa proses eliminasi kemampuan nuklir Korut. Kini semua bergantung pada konsistensi sikap Jong-un sebagai pemimpin tertinggi Korut. (Nasihah-53)