29 April 2018 | Serat

ESAI

Sastra (Sampul) Merajalela

  • Oleh Bandung Mawardi

Disampul belakang, pembaca bisa memperoleh kejutan atau mencipta curiga. Sampul belakang novel Semua Ikan di Langit (Grasindo, 2017) memuat kalimat “mengejutkan” dan “mencurigakan”. “Semua Ikan di Langit ditulis dengan keterampilan bahasa yang berada di atas rata-rata para peserta sayembara kali ini. Novel ini mampu merekahkan miris dan manis pada saat bersamaan.

Dan, perbedaan mutu yang tajam antara pemenang pertama dan naskah-naskah lainnya, membuat dewan juri tidak memilih pemenang-pemenang di bawahnya.” Kalimat dari laporan pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2016.

Pencantuman kalimat di sampul belakang itu mengukuhkan maksud pemuatan cap berdaun di sampul depan: pemenang pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016. Garapan sampul sudah “memastikan” bujukan paling mujarab agar orang berpredikat pembeli atau pembaca novel.

Penerbit mengandaikan pembeli atau pembaca tak bakal merugi merampungkan novel dan memuji. Pembaca pun berhak bermufakat dengan kutipan dari dewan juri. Peristiwa membaca seperti usaha bermufakat, bermula dari sampul depan dan belakang. Kepastian mufakat atau mengelak terjadi setelah khatam. Mufakat dikehendaki penerbit dan penulis.

Pengelak tak mungkin memesan ke penerbit agar mengganti sampul depan dan belakang; mengganti pemuatan cap dan kutipan kalimat. Penerbit memang ingin menggoda sejak dari sampul, sebelum memberi hak ke pembaca berkomentar: memuji atau mengecam. Sampul memberi “sihir” dan “muslihat”, berharap pembaca patuh tanpa keraguan atau sangkalan.

Merajalela

Kini, sastra Indonesia sering bekerja dengan sampul. Pencantuman cap merajalela. Cap paling sering di sampul depan novel adalah DKJ. Cap agak laris Kusala Sastra Khatulistiwa. Novel pemenang bercap DKJ disodorkan ke pembaca oleh pelbagai penerbit. Sepakat tampak dalam kesengajaan menaruh cap DKJ di sampul depan. Novel Glonggong (Serambi Ilmu Semesta, 2007) garapan Junaedi S mencantumkan pemenang DKJ — tak ada tulisan DKJ, digantikan lambang DKJ.

Novel Andina Dwifatma Semusim, dan Semusim Lagi (Gramedia Pustaka Utama, 2013) mencantumkan cap pemenang DKJ. Novel Kambing dan Hujan Mahfud Ikhwan (Bentang: 2015) memuat cap pemenang DKJ. Cap itu berdaun, dipasangi gambar daun. Semula, DKJ mengadakan sayembara berdalih pemajuan penulisan novel di Indonesia. Penghargaan atau kemenangan diberikan ke penulis novel.

Tugas DKJ mungkin teranggap selesai. Anggapan itu salah! Penerbitan novel tampak memberi tugas lanjutan pada DKJ demi mutu, laris, dan ketenaran. DKJ sering muncul di sampul novel. Barangkali itu ulah penerbit sepengetahuan penulis dan DKJ. Kita pun menduga DKJ tak ada dalam “persekongkolan” garapan sampul novel, tetapi tak memprotes.

Pemuatan cap DKJ di sampul buku mirip “melariskan” ketimbang penghormatan pada hak pembaca dalam permainan tafsir. Penerbit berhak mengandaikan novel bakal dianggap bermutu asal bercap DKJ. Kita perlahan menyangka: DKJ memiliki tugas belum selesai, tugas berkepanjangan demi penerbitan novel laris setiap tahun.

Taktik sama berlaku pada penerbitan buku puisi. Buku Dari Batavia sampai Jakarta 1616-1999: Peristiwa Sejarah dan Kebudayaan Betawi- Jakarta dalam Sajak (Indonesia Tera, 2001) Zeffry J Alkatiri menaruh keterangan di sampul: pemenang DKJ. Di sampul belakang, kutipan penilaian dewan juri (Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi WM).

Buku puisi berkesan keren dan bermutu. Laporan penilaian beralih dari lembaran kertas bertanda tangan ke sampul belakang buku: “Kumpulan sajak ini bahkan memberikan kesan bahwa penyairnya tidak peduli apakah cara yang ditempuhnya menurut ‘aturan’ membuat puisi. Kitalah yang menerimanya sebagai puisi. Pada hemat kami, buku kumpulan sajak Zeffry ini membuka cakrawala baru bagi perkembangan puisi kita.”

Pada 2016, Gramedia Pustaka Utama menerbitkan tiga buku puisi pemenang Sayembara Manuskrip Buku Puisi DKJ 2015. Semua sampul depan memuat cap DKJ, cap berdaun. Buku puisi Sergius Mencari Bacchus (Norman Erikson Pasaribu), Kawitan (Ni Made Purnama Sari), dan Ibu Mendulang Anak Berlari (Cyntha Hariadi) bercap DKJ, mengesankan ada pengesahan dari institusi seni menopang kemauan penerbit.

Orang diharapkan tergoda membeli dan membaca. Cap itu minta dibuktikan dengan mufakat atau tuduhan sastra berargumentasi. Aneh Penerbitan buku aneh pun terjadi. Di sampul depan buku puisi PlayonF Aziz Manna (Pagan Press: 2015) ada keterangan: pemenang Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur 2015. Buku itu terbitan kedua.

Penerbit awal tentu Dewan Kesenian Jawa Timur. Pada 2016, Playon diterbitkan Grasindo. Penerbit ketiga mencantumkan kejutan di sampul depan: pemenang kategori puisi Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 dan Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur 2015. Pencantuman itu dipastikan ingin membuat buku makin ampuh di hadapan pembaca.

Para pembeli dan pembaca novel atau kumpulan puisi bakal menjadi “kolektor”. Semula, pembaca berniat memberi tafsir atas novel dan puisi. Kenikmatan dan penilaian berlaku, meski tak wajib dituliskan. Predikat tambahan termiliki.

Pembaca itu “kolektor” atas pencantuman cap dan keterangan di sampul buku. Ia mungkin senang atau bosan, meski tak memiliki kuasa memesan atau memilih garapan sampul ke penerbit. Cap merajalela di sampul buku sastra, tanpa “janji” sebagai bacaan berkhasiat dan menakjubkan. (44)

-Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi