22 April 2018 | Serat

Ziarah Para Malaikat

  • Cerita Risda Nur Widia

Cuaca seketika berduka saat terbetik kabar kematian Tokoh Penulis Kita. Waktu kau datang melayat ke rumahnya, orang-orang berpakaian hitam dengan wajah berkabung sudah berkerumun di pelataran kediamannya. Langit masygul. Mendung pekat lekat menggantung di atas kepala-kepala manusia yang berjejal ingin mengantarkan jenazah Tokoh Penulis Kita ke liang peristirahatan terakhir. Akan tetapi hujan seolah ragu-ragu memuntahkan rinai. Langit seakan juga tak percaya atas kematian Tokoh Penulis Kita. “Mengapa orang baik harus mati lebih dahulu?” kata seorang di belakang punggungmu. “Tuhan mungkin menyayanginya lebih.

Orangorang baik itu dilindungi dari angkara murka dunia!” “Pasti seluruh keluarganya sangat kehilangan.” Kembali kau mendengar cerita-cerita mengenai kematian Tokoh Penulis Kita. Kau pun sebenarnya tidak percaya atas kamatiannya. Akan tetapi siapa tahu tentang takdir. “Kau tahu, ia meninggal setelah menulis salah satu prosa yang indah.” “Maksudmu?” “Dia meninggal setelah menulis prosa-prosa terbaik.” “Jadi ia meninggal saat menunaikan ibadah prosa?” “Ya, begitulah!” Langit bergemuruh. Rinai hujan akhirnya turun. Gerimis menyerapah pelataran rumah Tokoh Penulis Kita. Orang-orang menepi, mencari tempat berteduh.

Sesekali kau masih mencuri pandang pada air muka Tokoh Penulis Kita yang terbaring di rumah duka. Tokoh Penulis Kita, dari pandanganmu, tetap segar; bugar memancarkan gelora kehidupan, walau telah mati. Bahkan kau mengira Tokoh Penulis Kita hanya tidur sesaat; sebelum nanti bangun lagi melanjutkan tulisannya. Mendadak seberkas sinar matahari membersit dari gundukan mendung.

Gerimis turun bersama kilas cahaya tipis di langit. Pelan-pelan membasahi pelataran. Tiba-tiba kau ingat sebuah kisah tentang hujan yang diselingi semburat cahaya matahari. Dahulu ketika kecil mendiang kakekmu pernah bercerita: Sebersit cahaya matahari yang menyeruak diiring gerimis; di sanalah pertanda ada malaikat yang sedang ikut berduka atas suatu kejadian. Apakah hujan bersama sinar matahari ini berhubungan dengan kematian Tokoh Penulis Kita?

Mungkin itu hanya bualan. Namun kau sudah dua kali mengalami peristiwa dramatis seperti itu. Pertama, saat kakekmu meninggal. Kakekmu memang dikenang sebagai pria yang baik di kampung. Ia juga imam bagi warga, sehingga banyak orang merasa kehilangan atas kematiannya. Dan yang membuat acara pemakaman kakekmu sedikit berbeda, sepanjang acara pemakaman ada gerimis beserta sinar matahari turun bersamaan. Air hujan itu terasa hangat. Pun bila dicecap terasa manis. Kedua, pada pemakaman Tokoh Penulis Kita.

Pria paruh baya itu juga dikenal baik dan bijaksana. Ia tokoh yang haus ilmu pengetahuan; pembaruan gagasan dan konsep, khususnya di bidang seni dan budaya. Banyak bukunya menjadi pedoman pembelajaran para mahasiswa di kampus. Dahulu kau juga menggunakan bukunya untuk penelitian di bidang sastra, sosiologi, dan budaya. Percakapan dua orang di balik punggungmu kembali berlanjut. “Kapan Tokoh Penulis Kita dikebumikan?” “Mungkin nanti siang, setelah zuhur.” “Oh, apa karena menunggu semua kerabatnya yang tinggal di luar kota?” “Ya! Seluruh kerabat Tokoh Penulis Kita di Jakarta, Bandung, Solo, Aceh, Kalimatan, bahkan di luar negeri akan datang.” “Termasuk para pembaca bukunya seperti kita. Sungguh, Tokoh Penulis Kita sosok yang dirindukan. Aku jadi ingin seperti dia.” “Jadilah orang baik, tak pamrih saat menolong. Di mana dan sejauh apa pun berada, kita selalu dirindukan.” Kau tersenyum mendengarkan percakapan dua orang itu. Kau berpikir dua orang itu pasti juga sedih dan merindukan Tokoh Penulis Kita. Karena mereka tak henti membicarakannya sejak tadi. Begitu pula orang-orang di jejaring media sosial.

***

Para kerabat dan pembaca karya-karyanya terus berdatangan dari berbagai tempat. Para peziarah pun kini khusyuk mendoakan Tokoh Penulis Kita dengan mendengungkan ayat-ayat Tuhan. Kau larut dalam lautan duka. Kau seperti mendengar makrifat ketenangan dari segala ayat itu. Tanpa sadar kau juga larut; menggumamkan doa-doa terindah untuk melepaskan Tokoh Penulis Kita. Pun terbersit seulas air mata di tapuk matamu. Pelan. Hangat. Dan terasa memilukan. Tiba-tiba kau merasa sangat kehilangan. Kau merasa tak rela ditinggalkan sosok itu. Dadamu pun seperti berlubang. “Tokoh Penulis Kita akan dikebumikan di samping makam ibu dan ayahnya di kampung sebelah?” Seorang pria mengatakan di atas mimbar setelah selesai mendoakan jenazah. Mayat pun diangkat menuju pusara yang disiapkan. Sepanjang jalan kau beberapa kali mengerling ke arah para peziarah. Semua tertunduk muram; berduka, tak rela kehilangan sosok Tokoh Penulis Kita. Langit makin masygul.

Berduyun-duyun orang membopong keranda mayat. Gema ayat-ayat Tuhan terdengar lantang di sepanjang jalan. Akan tetapi seperti terjadi peristiwa aneh dalam iring-iringan peziarah itu. Kau merasa di setiap desa yang dilewati bertambah banyak yang bergabung dalam iringan. Banyak orang berpakaian hitam dan wajah bersih mengiringi. Wajah para peziarah seperti bercahaya. Setiap kali memandang langsung ke mata para peziarah itu, kau seperti melihat kedamaian abadi di sana. Para peziarah asing itu seperti para malaikat yang diutus Tuhan untuk mendatangi seremoni pemakaman Tokoh Penulis Kita. Para peziarah itu seperti datang dari langit. Lantas kau waktu melihat semua orang tak dikenal yang juga kehilangan setelah kepergian Tokoh Penulis Kita berpikir: Apakah orang-orang itu adalah para malaikat yang berkabung dan menjelma menjadi manusia? Kau hanya ingat Tokoh Penulis Kita acap menulis tentang malaikat. Mungkin sosok-sosok itu benar yang kini berkabung.

***

Sesampai di kuburan sebuah liang telah menganga menyambut. Rombongan pemanggul keranda dengan hati-hati menurunkan jazad Tokoh Penulis Kita. Kau juga menurunkan tubuh Tokoh Penulis Kita ke liang lahat. Namun kau tercekat. Tubuh itu sangat ringan.

Bahkan seperti tak berisi sama sekali. Kau bertukar pandang dengan seorang yang menurunkan jazad Tokoh Penulis Kita; bertanya-bertanya dalam kebisuan hati masing-masing. Dari dalam pusar pemakaman tercium aroma wangi bunga kamboja. Bahkan kau mendengar seseorang berkata: Tanah kuburan ini begitu mudah digali. Para penggali kubur hanya seperti membongkar selembar kertas di sampul buku. Gerimis kembali turun. Doa tak henti mengura. Sebelum mayat ditimbun tanah, seorang membacakan salah satu kutipan dalam buku Tokoh Penulis Kita: Karena pola kerja Tuhan tidak berpola, maka kita sebagai barang ciptaan- Nya mencoba membikin pola-Nya.

Hasilnya adalah manusia dikasih kado istimewa: kematian!* Sendu dalam larik kalimat itu mengawang sunyi. Sampai kemudian hujan cukup lebat menyelesaikan prosesi pemakaman. Satu per satu peziarah belingsatan menyelamatkan diri dari amukan hujan. Kau pun lari berteduh. Dan tanpa menyadari, saat mencoba menyelamatkan diri dari kucuran hujan, ada dorongan mistis yang menyuruh kau melengos ke belakang. Sekilas sosok-sosok ganjil, berupa bayang-bayang hitam dan para peziarah asing yang datang secara misterius itu, bertambah; bermunculan dari balik tirai hujan.

Sosok-sosok itu bagai terlahir dari gugur hujan deras. Begitu banyak. Lalu sosok-sosok itu serempak membacakan sajak untuk Tokoh Penulis Kita. Hujan makin lebat. Semerbak wangi bunga kamboja pekat mengawang. Sosok-sosok asing itu tetap terpekur di sana; menadahkan telapak tangan. Mereka seperti berdoa seraya membacakan sajak-sajak Tokoh Penulis Kita. Akhirnya kau terpekur takjub di bawah hujan, mengawasi keajaiban terjadi. Awan kelam dan hitam seketika menyibak, langit benderang, dengan sepotong sinar matahari. Cahaya keperakan berpendar; menyibak awan mendung di atas pusara Tokoh Penulis Kita; kemudian menerangi dengan satu sorot mirip pertunjukan teater ke arah sosok-sosok asing di pemakaman itu. Kau makin terenyak waktu mengetahui sesaat hujan terhenti di pemakaman itu; sedangkan di bagian lain hujan mengempas deras. Napasmu juga makin tersedak saat melihat dari punggung para peziarah asing itu muncul sayap-sayap yang mengalu hujan; menyibak pula matahari untuk menerangi.(44)

* Mengutip dari buku Danarto, Setangkai Melati di Sayap Jibril
** Tulisan ini untuk mengenang Danarto.

- Risda NurWidia, buku tunggalnya Bunga- Bunga Kesunyian (2015), Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia seperti Mersault (2016), Igor: Sebuah Kisah Cinta yang Anjing (2018).