image
25 Maret 2018 | Sehat

Ketika Anak Sulit Membaca

BILAanak Anda selalu malas, marah atau stres setiap kali harus membaca atau menulis, jangan buru-buru menyimpulkan kalau ia tidak mampu dalam pelajaran atau pemalas. Karena bisa jadi ia mengalami disleksia.

Apa itu disleksia? Secara sederhana, disleksia merupakan buta kata (word blindness). Diyah Puspitaningrum MPsi menjelaskan, istilah disleksia dipakai untuk menjelaskan gangguan atau kesulitan dalam bahasa tertulis, yakni membaca dan menulis. A

nak bisa mengalami kesalahan dalam kemampuan membaca lisan, antara lain ada kata-kata atau bagian yang mengalami penghilangan, penggantian, penyimpangan atau penambahan.

Bisa juga mengalami kecepatan membaca yang lambat, salah memulai yang terlihat dari keraguan yang lama atau kehilangan bagian dari teks dan tidak dapat menyusun kalimat.

Ia juga bisa terbalik dalam menyusun kata-kata dalam kalimat atau huruf-huruf yang terbalik dalam kata-kata. Bisa juga mengalami defisit dalam memahami bacaan, yakni tidak mampu menyebutkan kembali isi bacaan dan tidak mampu menarik kesimpulan dari materi bacaan.

“Biasanya anak disleksia akan mengalami kesulitan ketika harus menyalin dan menulis spontan, dan akan memperlihatkan banyak kesalahan bila ada rasa tertekan,” papar Direktur PT Taman Bintang Indonesia tersebut.

Memastikan Disleksia

Diyah menekankan, meski anak mengalami kesulitan dalam berbahasa oral, mengeja dan menulis, jangan buru-buru memvonisnya sebagai anak disleksia. Ada banyak aspek dan ada banyak hal yang harus dicek untuk memastikannya.

Pertama, lakukan pengecekan mata, bisa jadi kekeliruannya dalam membaca karena matanya minus atau rabun. Kedua, lakukan tes IQ. Krikteria anak disleksia memiliki IQ rata-rata. Apabila IQ-nya di bawah rata-rata, maka ketidakmampuannya dalam membaca bukan karena disleksia, melainkan mentalnya.

Kemampuan otak dan mentalnya memang belum atau tidak sesuai dengan usianya. Misalnya anak berumur tujuh tahun tapi kemampuan otak dan mentalnya masih seperti anak umur empat tahun.

Dalam kegiatan sehari-hari, bila sang buah hati selalu mengalami kesulitan dalam mengeja, membaca atau menulis, maka untuk memastikan apakah mereka disleksia atau tidak, bisa dilakukan dari hal-hal sederhana.

Anda bisa melakukan tes memori, nalar, dan pemahamannya terhadap hal-hal sederhana. Coba minta ia mengulang menyebutkan deretan angka yang Anda sebutkan. Misalnya, “Coba ulangi 938541.” Anak dengan disleksia bisa mengulangnya karena mereka tidak memiliki masalah dalam hal memori. Atau bisa juga dengan tes nalar.

Misalnya dengan memintanya atau sekadar menanyakannya untuk membeli air mineral di warung atau minimarket terdekat, dan kalau air mineral yang dimaksud habis, apa yang akan ia lakukan? Ia akan mencari warung atau minimarket terdekat lainnya. Ini karena nalarnya juga tidak mengalami masalah. Tanda-tanda disleksia bisa terlihat sejak usia 4,5 tahun.

Paling terlihat adalah kesulitan atau sering terbolak- balik antara kanan-kiri, depan-belakang, atasbawah. Ia juga bingung dengan simbol-simbol, misalnya simbol rambu-rambu lalu lintas. Serta keliru atau bingung membedakan angka.

Misalnya antara angka 6 dan 9. Anak-anak disleksia biasanya lebih suka mendengarkan (verbal) daripada visual. “Meskipun tandatandanya telah terlihat sejak usia 4,5 tahun, anak baru boleh didiagnosa disleksia ketika sudah mencapai usia masuk SD,” papar Diyah.

Terapi

Apakah disleksia bisa disembuhkan? “80% bisa disembuhkan, tapi melalui proses yang sangat lama,” tutur Diyah. Lebih lanjut ia menjelaskan, metode terapinya adalah dengan pendekatan multi sensori. Yakni visual (penglihatan), tacticle (perabaan), kinesthetic (gerakan), dan auditory (pendengaran).

Keempat pendekatan itu dikenal dengan VAKT. Keempat metode tersebut harus dilakukan secara bersamaan, dengan menggunakan alat bantu; huruf tertulis, huruf timbul untuk diraba, cat, pasir, dan alat bantu lain yang dapat diraba oleh anak.

Selain menggunakan metode VAKT, Diyah mengatakan penting bagi anak disleksia untuk tetap sekolah (bukan home schooling). Hal tersebut bertujuan supaya anak bisa beradaptasi dengan kekurangannya dan mengajarkan teman-temannya untuk bisa menerimanya.

Peran guru juga dibutuhkan, dengan menempatkan anak duduk di barisan depan, tidak hanya mengajari atau memintanya untuk membaca, tapi menjelaskan secara lisan, sehingga mereka bisa menggunakan imajinasinya untuk memahami pelajaran.

Orang tua pun harus menyiapkan gambar-gambar yang dibutuhkan untuk mendukung pelajarannya. “Jangan menganggap anak disleksia sebagai anak yang tidak mampu (dalam belajar), beri mereka dukungan dan bantuan dalam memahami pelajaran,” imbuhnya. (58)