30 April 2018 | Wacana

TAJUK RENCANA

Martabat Buruh Terus Diperjuangkan

Persoalan perburuhan di Indonesia hingga hari ini masih berkutat pada tiga masalah penting. Pertama, berkait dengan penghapusan sistem alih daya (outsourcing). Kedua, peningkatan upah. Ketiga, pemberian jaminan kesehatan. Tuntutan para pendemonstrasi pada 1 Mei, saat Hari Buruh diperingati, diperkirakan akan tetap berkisar pada ketiga persoalan itu. Mengapa?

Karena sistem alih daya masih merajalela, upah tak ideal, dan belum semua buruh mendapatkan jaminan kesehatan memadai. Tentu persoalan-persoalan itu, paling tidak menurut pakar kebijakan publik dari Undip, Teguh Yuwono, tidak turun dari langit begitu saja. Ada persoalan-persoalan sebelumnya yang mengonstruksi buruh berada dalam belitan tiga persoalan itu. Bisa saja karena harga buruh tetap makin tinggi sehingga perusahaan lebih memilih menggunakan tenaga alih daya. Bisa juga upah belum ideal karena tuntutan buruh terlalu tinggi. Adapun jaminan kesehatan tak memadai karena ongkos kesehatan ditekan sedemikian rupa oleh perusahaan. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri memang selalu berharap, pengusaha dan pekerja atau buruh menjaling hubungan kerja yang harmonis.

Ini permintaan yang wajar dan normatif. Akan tetapi sulit terwujud jika jarak keinginan buruh dan pengusaha masih sangat lebar. Keinginan pegusaha-buruh seharusnya selaras sehingga bisa dicapai ”solusi yang saling menguntungkan”. Pemerintah sebagai penengah sebaiknya mendorong keduanya mencapai titik temu yang ideal itu.

Persoalan buruh sesungguhnya tidak sekadar berkait dengan tiga masalah besar. Peningkatan martabat buruh lewat berbagai bidang juga harus menjadi prioritas. Tentu tak sekadar mengubah istilah buruh yang cenderung inferior dengan kata karyawan, pekerja, atau pegawai. Pemartabatan bisa dimulai dengan menganggap buruh bukan sekadar alat industri. Buruh adalah manusia.

Manusia yang menggerakkan dunia industri. Bukan manusia yang diperdaya oleh dunia industri. Perlakuan pemerintah pada pekerja asing harus diubah. Jika masih bisa dikerjakan oleh buruh dalam negeri, sebaiknya bidang-bidang pekerjaan itu jangan diberikan kepada para pekerja asing. Kini masih banyak pekerja kasar dari luar negeri yang mengerjakan proyek di Indonesia. Itu membuktikan pemerintah kurang sensitif. Pekerjapekerja asing sebaiknya hanya mengerjakan hal-hal yang tak bisa dilakukan oleh pekerja Indonesia.

Pemerintah harus menindak tegas pengusaha yang menggunakan pekerja asing ilegal. Tak pelak lagi sesungguhnya yang diharapkan buruh atau pekerja saat ini adalah kenyamanan kerja. Kenyamanan kerja bisa dipenuhi jika pengusaha- pekerja tidak bentrok karena upah, jaminan kesehatan, dan status. Sayang, kadang penguasa masih kerap memihak pengusaha sehingga buruh terpinggirkan. Inilah yang harus dilawan. Penguasa hendaknya jadi penengah dan peneduh, pengusaha menjadi penyedia lapangan kerja yang manusiawi, dan pekerja tak menuntut yang aneh-aneh.