image
30 April 2018 | Wacana

Penumpang Gelap Pilkada Jateng

  • Oleh Algooth Putranto

PESTApolitik Jawa Tengah dalam hal ini pemilihan gubernur dan wakil gubernur telah memasuki bulan kedua masa kampanye. Masih ada dua bulan lagi hingga memasuki masa tenang pada 26 Juni. Bagi sebagian generasi zaman old, pesta demokrasi di daerah alias pilkada saat ini sunyi senyap alias kurang meriah.

Dasarnya jelas, Peraturan KPU-RI Nomor 7 Tahun 2015 dan Keputusan KPU-RI Nomor 123/Ktps/KPU/ Tahun 2016. Aturan itu selain mengharamkan kampanye konvoi, seluruh sarana kampanye pasangan calon kepala daerah pun dikelola dan dibiayai oleh negara lewat Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah. Keempat sarana tersebut adalah pemasangan alat peraga kampanye, penyebaran bahan kampanye, iklan di media cetak dan elektronik, dan debat publik antarpasangan calon kepala daerah. Itu yang membuat pilkada jadi dingin bila dibandingkan sebelumnya. Satusatunya sarana kampanye yang masih meriah pada zaman now adalah kampanye dunia maya.

Pilkada DKI tahun lalu yang sengit, bahkan cenderung kasar, membuat KPU dan Bawaslu didukung Polri lebih awas terhadap aktivitas media sosial (medsos). Dalam hal medsos, tidak bisa kita mungkiri, ruang publik dunia maya telah jadi arena baru bagi proses demokrasi bahkan telah menggoyahkan posisi media konvensional. Tak heran pada setiap pesta politik, pola penggunaan dunia maya tidak memungkiri munculnya pihakpihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mengejar kepentingan sendiri tanpa memikirkan kepentingan publik.

Robot Politik

Kembali ke Pilgub Jateng, kita patut mewaspadai penumpang gelap dalam demokrasi Jateng. Syukur jika itu manusia, sayangnya penumpang gelap tersebut adalah robot. Kok robot?

Sebentar. Kita harus mengingat sifat medsos adalah market is conversation, pasar itu isinya individu yang saling bercakap. Artinya, kampanye yang berlangsung melalui medsos bersifat perbincangan dua arah alias lebih intim. Semakin ramai percakapan semakin jelas apa topik yang menarik bagi pasar. Dalam politik, pasar artinya pemilih atau pemilik hak suara.

Dengan ramai dibicarakan, naik pula kesempatan memilih calon tersebut. Dalam hal ini, teknologi kecerdasan buatan sanggup membuat robot atau sistem yang sanggup bercakap layaknya manusia. Robotrobot ini akan belajar dan bagaimana menanggapi percakapan yang terjadi. Makin sering Anda ngobrol dengan robot tersebut, makin pintar dia. Dalam dunia medsos mereka disebut sebagai akun bot. Akun bot karena bekerja berdasarkan sistem maka aktivitas dan kehadirannya lebih mudah dideteksi. Untuk mendeteksi kehadirannya, Anda cukup dengan melihat sejumlah indikasi. Salah satunya percakapan yang tiba-tiba melonjak tinggi dalam waktu singkat. Satu contoh, pascadebat Ganjar dan Sudirman akhir pekan lalu, sebuah televisi swasta di Jakarta menggelar polling medsos menggunakan platform Twitter. Hasilnya cepat muncul, sekaligus cepat berubah. Bisa dipastikan dalam polling itu ada peran akun bot. Mengapa?

Berkat alat bot spammer, dapat dihasilkan kicauan dengan konten yang mirip dengan kicauankicauan sebelumnya dan diunggah dengan interval waktu yang teratur karena kicauan diunggah berdasarkan sistem penjadwalan. Indeks Digital dalam Pilpres 2014 mendeteksi tak kurang 27.000 akun bot yang yang muncul dan berkicau melalui Twitter pada 19 Juni 2014 saja. Bagaimana dengan Pilkada Jateng saat ini?

Penulis dengan bantuan perangkat analisis media sosial atau biasa disebut social media analytic tools, yaitu Drone Politik, mendapati indikasi adanya penumpang gelap berupa robot politik tersebut.

Hal ini didasarkan pada analisis tren pemberitaan media arus utama dan medsos sejak 1 Maret hingga 22 April, terlihat jelas aktivitas akun bot bekerja ketika isu yang berkembang di Jateng mulai ditanggapi akun-akun medsos yang bermain pada pesta politik nasional. Sebut saja bagaimana lonjakan percakapan Pilkada Jateng setelah petahana Ganjar Pranowo pada pekan pertama April membaca puisi karya Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) yang dituding menistakan agama oleh akun medsos di luar Jateng.

Saat itu jelas terlihat penurunan pemfavoritan terhadap Ganjar yang drastis dalam waktu sangat singkat setelah pembacaan puisi. Namun tampilnya sejumlah sosok berlatar Nahdlatul Ulama, termasuk Gus Mus, melakukan klarifikasi membuat Ganjar justru melejit di medsos. Nah, dengan mengetahui adanya penumpang gelap ini, kita para pengguna medsos Jateng, tidak perlu kaget ketika mendadak linimasa medsos Anda dibanjiri sebuah topik. Lalu karena unggahan yang ramai tersebut menyinggung Anda, sigap dan cepat jempol Anda menanggapi. Padahal Anda sedang ngobrol bahkan ngamuk terhadap robot.(49)

—Algooth Putranto, pengurus BPP Perhumas Indonesia 2017- 2020, kandidat doktor Ilmu Komunikasi, dosen Universitas Atma Jaya Jakarta.