image
29 April 2018 | Bincang-bincang

Gayeng Bareng

Ziarah

  • Oleh Mudjahirin Thohir

HARI-HARIini, menjelang Ramadan, sejumlah orang Jawa, termasuk yang tinggal di kota, memerlukan menengok kembali kampung halaman. Berziarah ke makam leluhur, bapak-ibu atau kakeknenek mereka yang sudah sumare.

Mereka ingat petuah orang tua ketika dahulu kali pertama minta restu mencari penghidupan ke kota. Mereka begitu mengingat kata dan titik koma petuah itu. "Aja lali lan nglalekake asal-usule, Le," pesan Mbok Suminah kepada Wardoyo, anak sang lanang.

Wardoyo, yang menurut Clifford Geertz, termasuk kategori wong abangan, begitu sadar arti penting tilik kubur orang tua menjelang Ramadan. Apalagi Dullah, Arifin, dan Hasan -- yang dilihat dari nama mereka saja tampak sekali santri.

Setidaknya nama dari bahasa Arab populer di kalangan masyarakat Jawa pesisiran; mereka bermasa remaja setiap hari Jumat membiasakan tahlilan. Jika tidak di makam orang tua, pastilah ikut tahlilan jamaah di kampung secara bergiliran.

Kecenderungan berziarah ke makam orang tua makin menarik diamati. Mengapa? Zaman sudah memasuki era industri keempat yang ditandai oleh dunia digital, serbamodern. Namun yang berkepentingan berziarah ke makam leluhur ternyata tak hanya orang yang sekolah ongko loro, juga kaum terpelajar.

Mereka antara lain bergelar doktor, lulusan universitas ternama, dan bekerja di perusahaan asing -- pasti sang direktur tak bakal tahu ruwahan, punggahan, nyadran, besik, atau nyekar.

***

MERASApenting berziarah menjelang Ramadan begitu banyak penjelasannya. Bukan hanya soal istilah atau sebutan yang beragam, melainkan juga motif alias nawaitu yang mendasari.

Kata "ruwahan", misalnya, tak hanya karena berziarah waktu bulan Ruwah. Namun juga karena arwah leluhur, ketika memasuki Ramadan, dipercaya dinaikkan ke surga. Naik dalam bahasa Jawa disebut munggah, sehingga ziarah ke makam leluhur disebut punggahan.

Munggahatau punggahandigambarkan dan menggambarkan perjalanan ke surga. Dari konsepsi itulah, tanda bakti dan kesetiaan anak kandung, termasuk kerabat dekat, diukur. Apakah masih menaruh perhatian atau sudah mengabaikan dan melupakan. Jika melupakan berarti lupa asalusul. Melupakan asalusul berarti melupakan silsilah. Orang Jawa yang tak lagi tahu silsilah disebut wong kabur kanginan. Mengapa? Orang Jawa tak mengenal fam atau marga, tidak sebagaimana orang Batak misalnya.

Begitu penting merangkai asal-usul bagi umumnya orang Jawa, lantas berziarah ke makam merupakan kewajiban moral. Berziarah pertanda kehadiran untuk mengantarkan seraya mengiringi dengan doa agar tak ada halangan dan rintangan.

Karena itu, istilah besik mengacu ke makna resik-resik alias membersihkan makam dari rerumputan biar padhang (terang) dan tak ada halangan. Jika perjalanan menuju ke surga telah dipersiapkan, selanjutnya peziarah yang tak lain anak kandung dan sanak-kadang menaburkan bunga di atas pusara. Itulah makna simbolik di balik pemilihan istilah nyekar untuk menyebut ziarah ke makam leluhur.

***

PANDANGANkolektif bahwa ziarah ke makam leluhur mendekati Ramadan seperti hari-hari ini menjadikan kawasan makam di banyak tempat ramai. Lebihlebih di makam para tokoh yang dikategorikan wali. Hari-hari ini, ratusan bahkan beribu orang berombongan dari berbagai daerah berbeda-beda menyediakan waktu untuk wisata religi. Ya, mereka berziarah ke makam wali. Mengapa ke makam wali, tidak ke makam orang yang pada masa hidup melakukan banyak dosa? Bukankah para pendosa butuh banyak doa, sedangkan kesejahteraan para wali sudah dijamin di sisi-Nya?

Saya pernah menanyai orang-orang yang berkunjung ke makam wali dan mereka menjawab seragam: ingin mendapat berkah. Apa maksud mereka? Hati menjadi tenang. Plasebokah?(44)