image
08 April 2018 | Bincang-bincang

Gayeng Bareng

Pedestrian

  • Oleh Adi Ekopriyono

MENURUTkamus, pedestrian adalah pejalan kaki. Namun sering diartikan sebagai trotoar, tempat untuk pejalan kaki. Coba sesekali amati papan pengumuman di beberapa trotoar. Di sana tertulis ”Dilarang parkir di atas pedestrian”. Aneh, masa ada orang memarkir kendaraan di atas pejakan kaki?

Dalam bahasa Jawa, kekeliruan itu disebut salah kaprah, bener ora lumrah (salah tetapi dianggap benar, yang benar justru dianggap tidak wajar).

Di suatu forum, pernah saya mengungkapkan kekeliruan penyebutan itu. Namun justru banyak orang menganggap pendapat saya aneh. ”Ah, yang penting orang mengerti maksudnya,” kata mereka.

Ya sudahlah, mangga.

Fokus tulisan ini memang bukan sekadar soal kesalahkaprahan itu. Namun soal nasib pedestrian (nuwun sewu, pedestrian = pejalan kaki, bukan tempat orang berjalan kaki). Dulu, sebagai pencinta jalan kaki, saya sangat prihatin atas nasib pedestrian yang seolah-olah tidak diberi hak hidup.

Sekarang, alhamdulillah, nasib pedestrian sudah membaik. Setidaktidaknya di Kota Semarang tercinta ini. Trotoar sudah diperlebar dan dipercantik, lengkap dengan fasilitas (lajur) untuk kaum tunanetra.

***

DIKota Semarang, sekarang kaum pedestrian nyaman berjalan kaki di sepanjang Jalan Pemuda, Jalan Gajahmada, sebagian Jalan Pandanaran (kawasan segi tiga emas), dan di beberapa trotoar lain. Trotoar yang membuat nyaman itu ditambah dengan taman yang sedang gencar Pemerintah Kota bangun.

Tidaklah berlebihan jika kita mengapresiasi langkah Pemerintah Kota yang sudah memberikan kenyamanan pada pedestrian. Mungkin pelayanan pada pedestrian itu juga jadi pertimbangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memberikan penghargaan ke Pemerintah Kota Semarang sebagai kota terbaik dalam pelayanan publik.

Kenyamanan bagi pedestrian juga menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan, baik domestik maupun luar negeri. Apalagi di beberapa trotoar dilengkapi kursi yang dapat dimanfaatkan pedestrian untuk beristirahat sambil menikmati keindahan kota.

Saya ingat ide Prof Budi Widianarko (mantan rektor Unika Soegijapranata, yang saat ini menjadi dosen tamu di Taiwan). Dia memimpikan kawasan segi tiga emas Kota Semarang dijadikan ”surga” bagi pedestrian. Sepanjang Jalan Pandanaran, Jalan Gajahmada, dan Jalan Pemuda dapat menjadi ikon baru Kota Semarang, yang tak kalah dari Orchard Road di Singapura, Champs- Elysees di Paris, atau La Rambla di Barcelona.

Mirip ide itu, ketua umum Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang, Ir Budi Santoso, pernah mengusulkan agar Pemerintah Kota mengajukan permohonan pengecualian (exclusive area) kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP). Dengan tujuan, kawasan segi tiga emas itu lebih berkembang dan Kota Semarang menjadi kota metropolis yang tidak ”kerdil”.

Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 44 Tahun 2005 tentang Pemberlakuan Standar Nasional, KKOP adalah wilayah daratan dan/atau perairan dan ruang udara di sekitar bandara untuk kegiatan operasi penerbangan guna menjamin keselamatan penerbangan. Adapun exclusive area dimaksudkan sebagai pengecualian KKOP, yang mendukung konsep Kota Semarang sebagai aeropolis. Itulah pengembangan kawasan terintegrasi, yang terdiri atas perumahan, perkantoran, hotel, serta tempat komersial dan pengembangan ritel.

***

OKE,mari kembali ke isu pedestrian. Pemerintah Kota Semarang memang sudah memberikan kenyamanan pada kaum pejalan kaki. Sayang, kenyamanan itu belum diimbangi sikap pengguna jalan lain, yaitu pengendara kendaraan bermotor, baik roda empat maupun dua.

Budaya berlalu lintas belum sesuai dengan budaya tenggang rasa, sopan santun, dan mematuhi rambu. Cobalah sesekali merasakan betapa menakutkan menyeberang di berbagai ruas jalan di Kota Semarang.

Saya sering malu karena diledek beberapa teman dari luar negeri, yang berkomentar, ”Menyeberang jalan di sini seperti menyabung nyawa, harus adu cepat dengan mobil dan sepeda motor. Marka jalan pun tidak dipatuhi, sehingga ketika menyeberang bisa saja tiba-tiba ada kendaraan bermotor nyelonong mengancam keselamatan kita. Ngeri.”

Ya, budaya berlalu lintas kita masih main selonong, main serobot, main seruduk. Ironis, meski sudah tersedia jembatan penyeberangan, pejalan kaki lebih memilih menyeberangi jalan, beradu cepat dengan pengendara kendaraan bermotor. Beberapa teman saya, dan saya pun, pernah mengalami nasib sial: terserempet kendaraan bermotor.

Nah, pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kota untuk menyempurnakan kenyamanan pedestrian adalah menyosialisasikan dan menginternalisasikan budaya berlalu lintas yang lebih manusiawi. Kita perlu belajar dan meniru budaya berlalu lintas pengendara kendaraan bermotor di Singapura, yang berhenti, memberikan kesempatan pada pejalan kaki yang hendak menyeberang.

Jika itu berhasil, bukan tak mungkin Kota Semarang menjadi kota dengan predikat kota ternyaman bagi pedestrian. Insya Allah. (44)