22 April 2018 | Yunior

Permintaan Zallumy

  • Oleh Faris Al Faisal

Zallumy terpana. Bocah kelas III SD Negeri Bulak I itu merona bahagia. Buku dongeng yang baru dibacanya didekapkan ke dada. Matanya menerawang ke atas plafon kelasnya. Sekolah tua Belanda yang dibangun 1916 dan dulu bernama Hollandsch-Inlandsche School (HIS)- sekolah untuk bumi putra, seakan berubah menjadi istana dalam cerita. Lalu kursi tempat duduknya seolah menjelma sebagai permadani ajaib yang dapat terbang ke angkasa. Membawa serta angan dan harapannya.

Di sekolah tertua di Indramayu itu, sudah biasa dilaksanakan gerakan literasi. Salah satunya adalah kegiatan 15 menit membaca buku non pelajaran, sebelum waktu belajar dimulai. ”Ayo anak-anak, kita baca kembali buku literasi. Hari ini kita jelajahi kembali kisah-kisah dari berbagai negeri,” ucap pak Faisal memotivasi.

Guru kelas III itu tersenyum penuh arti. Matanya yang jenaka terus memandangi. Muridmuridnya, segaris asa dilekatkan untuk membangun Ibu Pertiwi. Terutama memajukan pendidikan anak negeri. Serentak, siswa kelas III membuka buku-bukunya. Beberapa siswa ada yang membaca buku kisah para nabi, buku dongeng peri, buku resep masakan koki, bahkan ada pula yang membawa buku pijat refleksi. Entah dari mana mereka mendapatkan buku-buku literasi. Pak Faisal bilang, dari mana saja, asal bukan dari mencuri. Zallumy sendiri membawa buku Kisah 1001 Malam yang diambil dari rak lemari. Buku itu warisan sang Kakek yang memiliki banyak buku koleksi.

***

Dibaca berulang setiap pagi, bahkan malam hari. Mengesankan, sejak membaca cerita itu, dalam tidurnya selalu bermimpi. Seolah apa yang diinginkannya dapat terpenuhi. Cerita itu telah membuatnya berani bermimpi walaupun hanya dalam mimpi. Pernah ia bermimpi bertemu dengan lampu ajaib itu. Dielus-elusnya seperti dalam kisah yang dibacanya waktu dulu. Dari lubang lampu minyak itu keluar asap lalu menjelmalah jin berpakaian sutera biru. ”Kuberi tiga permintaan,” ucap jin yang baik hati itu. ”Rumah,” katanya tanpa ragu. Ia teringat, selama ini kedua orang tuanya tinggal di rumah kontrakan di Jalan Waru. Sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke tempat yang baru. Itu pun seringnya pemilik rumah tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Belum kering bibirnya, rumah itu telah ada tanpa perlu menunggu. Zallumy termangu, ingin ia segera mengabari Ayah dan Ibu. Namun, jin itu mempersilakan permintaan kedua dengan berseru. ”Sepeda,” jawab Zallumy lugu.

Selama ini, bocah perempuan berhidung mancung itu berangkat sekolah dengan terburu- buru. Bukan karena bangun kesiangan melulu. Melainkan jarak tempuh antara rumah dan sekolahnya belasan kilometer melewati banyak hutan waru. Ia selalu membayangkan, kalau saja memiliki sepeda baru, tentu akan sangat membantu. Pada bapak Presiden, Zallumy pernah berharap ingin mendapatkan sepeda baru seperti anak-anak yang beruntung itu. Tapi kapan dan di mana ia akan bertemu?

Diam-diam dikuburnya harapan itu. Sepeda itu bercat ungu. Semuanya tampak baru. Zallumy begitu terharu. Berderai-derai air matanya menderu. Dipandanginya sepeda itu dari stang sampai velg yang juga berwarna ungu. Lalu disentuhnya dari roda depan hingga roda belakang yang masih berbau ban baru. ”Yang ketiga?” tanya lelaki jin itu. Zallumy berpikir barang beberapa waktu. Namun, pada permintaan ketiga, Zallumy terbangun karena suara ayam jago berkokok-kokok dan ayam betina berkotek-kotek terdengar bertalu-talu. ”Sudah pagi. Rupanya saya bermimpi,” gumamnya dalam hati. Zallumy kecewa. Padahal pada permintaan ketiga, ia berniat ingin meminta alat-alat tulis dan tas berwarna jingga. Dan lebih kecewa lagi, itu semua mimpi semata. Pagi itu di antara pepohonan waru yang doyong ke jalan, Zallumy dengan berjalan membaca kembali kisah Aladin dan Lampu Ajaibnya.

***

Sore harinya, saat membeli mie instan di warung desa, Zallumy melihat tayangan di televisi. Ada sebuah iklan yang membuatnya tersenyum geli. Ia jadi teringat akan mimpinya malam tadi. ”Kuberi satu permintaan,” ucap seseorang yang berperan menjadi jin yang baik hati. ”Ah, lampu ajaib. Barangkali hanya ada dalam sebuah dongeng,” begitu kesimpulannya. Malam harinya, sebelum berangkat tidur, kepada Ayah dan Ibunya, Zallumy meminta didongengkan cerita. ”Cerita apa Zallumy?” tanya Ayah menawarkan pilihan padanya. Ayah Zallumy, setiap akan berangkat tidur sering kali mendongeng. Baginya berkisah adalah kebudayaan yang sudah jarang dilestarikan oleh orang tua sekarang.

Padahal, menurut lelaki yang bekerja sebagai petani itu, lewat cerita dapat disisipkan nilai budi pekerti bagi anak yang dapat menjadi benteng dan tanggul pembendung. Perilaku anak menjadi lebih lembut karena terbiasa mendengar nasehat sehingga mudah dibimbing. ”Kisah Aladin dan Lampu Ajaibnya,” jawab Zallumy bersemangat membara.

Lalu berceritalah Ayahnya. Sesekali Ibu ikut melengkapi kisah yang sudah melegenda itu dengan bijaksana. ”Nah, seperti itulah ceritanya.” Sebenarnya Zallumy bukan belum mendengar cerita itu. Ia hanya ingin bertanya sesuatu kepada Ayahnya. Tentang keresahannya terhadap buku-buku dongeng setelah membacanya. ”Ayah, Ibu, apakah kisah yang ada di dalam dongeng itu bisa jadi kenyataan?” Ayah dan Ibunya tersenyum penuh madu. Mereka sejenak berpikir untuk menjawab pertanyaan anak semata wayangnya itu. ”Kisah yang ada dalam dongeng sebenarnya fiksi, tidak nyata. Tetapi melalui cerita itulah penulis atau pengarang mencoba menyampaikan pesan atau amanat yang dikandung dalam bacaaan, agar mudah diterima,” terang Ayah. ”Lebih dari segalanya, manusia sebaiknya berusaha sendiri bukan mengandalkan bantuan orang lain, dan jangan lupa selalu berdoa,” imbuh Ibu dengan kata yang tak kehilangan makna. Zallumy tertawa.

Ia mulai menganggap kejadian itu sebagai hiburan saja. Kalau saja semua orang bisa memiliki lampu ajaib itu, tentu semua orang tak akan ada yang bekerja. Mereka akan bertopang dagu, berpangku tangan, dan beruncang-uncang kaki tanpa pernah mau berusaha. ”Sudah ayo kita tidur, sudah malam. Besok Ayah harus ke sawah dan Zallumy harus belajar lebih giat lagi supaya cita-citamu tercapai. Masih ingin menjadi guru, kan?” ”Iya, Ayah.”

***

Kini di waktu-waktu seusai salat lima waktu, Zallumy menyampaikan cita-citanya dalam permintaan dan permohonan doa. Tak pernah putus asa dengan keadaaannya itu. Tidak lagi berharap pada keajaiban lampu. Karena sebenarnya, hanya Tuhanlah yang memberikan segala kebutuhan hidup setiap makhluk-makhluk-Nya itu.(58)