30 April 2018 | Berita Utama

LIPUTAN KHUSUS

Perpres TKA, Antara Politik dan Investasi

Isu serbuan tenaga kerja asing (TKA) kembali ramai diperbincangkan menyusul terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Perpres yang diterbitkan Maret lalu itu mendapat tanggapan yang beragam.

TERBITNYAPeraturan Presiden (Perpres) No 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dianggap sebagai ”karpet merah” bagi kemudahan TKA bekerja di Indonesia.

Apalagi sejak setahun terakhir unskilled labor (pekerja tidak terampil) terutama dari Tiongkok banyak ditemui di berbagai daerah. Bahkan ada yang menyebut jumlahnya amat banyak. Mereka seperti bedol desa, dari tukang sapu hingga manajer top, bekerja membangun perusahaan di Indonesia.

Isu itu semakin memanas karena disandingkan dengan kenyataan di Tanah Air bahwa angka pengangguran masih tinggi. Belum lagi persoalan ketimpangan upah dan belum terpenuhinya hak-hak normatif sebagian dari pekerja kita.

Kebijakan TKA itu dianggap hanya untuk memenuhi ambisi pemerintah dalam menarik investasi asing namun lupa melindungi pekerja sendiri. Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri menilai isu itu telah ”digoreng” dengan mengedepankan asumsi dan prasangka fiktif oleh sementara orang untuk memukul pemerintah. Pemerintah seolah-olah lebih proasing. Negeri dan masa depan bangsa ini telah diberikan kepada asing. Bahkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon sedang menggulirkan hak angket DPR untuk menyelidiki kebijakan TKA ini. Ia juga menyebut video viral tentang serbuan pekerja asing asal Tiongkok ke Indonesia yang disebut jumlahnya sampai 10 juta orang. ”Setelah saya amati, video yang beredar sudah lama namun ‘digoreng’lagi. Wajar saja, sudah masuk musim politik jadi isu lama ‘digoreng’ lagi biar panas. Tujuannya jelas, yaitu untuk membodohi dan membuat masyarakat cemas,” ucapnya.

Cari Investasi

Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi dan politik, Ahmad Ma’ruf. ”Perpres ini sebenarnya bukan produk tunggal, tapi bagian dan terkait dengan aturan lain termasuk aturan ketenagakerjaan yang sudah dibuat pemerintah sebelumnya. Perpres ini lebih operasional dan sejalan debirokratisasi untuk mencari investasi,” papar Ma’ruf yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Yogyakarta, Sabtu (28/4).

Dia menyatakan ada kelompok yang sengaja menggulirkan isu tersebut untuk ”menggoreng” Perpres TKA sehingga kontraproduktif. ”Bahkan ada pula yang membumbuinya dengan semangat sempit yang tujuannya untuk menjatuhkan pemerintahan. Penilaiannya didasari pada pernyataan-pernyataan kelompok politik yang tidak melihat secara jernih dan fair terbitnya Perpres tersebut,” katanya.

Ma’ruf menambahkan, Indonesia termasuk negara yang memang sedang memperebutkan investasi asing, bersaing dengan negara-negara lain termasuk negara tetangga. Menurut dia, ekonomi yang membaik di sejumlah negara harus segera ditanggapi supaya banyak investor tertarik dan melirik Indonesia.

Menaker Hanif tidak menampik adanya aliran masuk TKAdari Tiongkok sejalan dengan masuknya investor dari negeri tirai bambu itu. Namun ia menilai tidak masuk akal kalau seluruh pekerja diboyong dari sana. Apalagi sampai tukang aduk semen dan pekerja kasar lainnya didatangkan dari Tiongkok. ”Standar upah di sini itu lebih rendah. Apa mungkin tukang aduk semen dibayar Rp 15 juta sebulan,” katanya.

Dinilainya wajar kalau ada investor membangun usaha di sini membutuhkan 5.000 pekerja. Untuk jabatan level tertentu, karena menyangkut kepercayaan dan keahlian, bisa saja ia membawa sekitar 300 pekerja dari negerinya. Sementara sisanya menggunakan pekerja lokal. ”Di mana-mana ya seperti itu. BUMN kita Waskita Karya yang menggarap pekerjaan di luar negeri juga membawa 1.500 pekerja kita. Sisanya pekerja setempat.” Oleh karenanya Hanif menantang siapa saja yang bisa menunjukkan adanya TKA illegal agar melaporkan kepada pihak berwajib atau jajarannya.

Ini sekaligus juga peringatan bagi pengawas ketenagakerjaan Kemnaker untuk bekerja lebih baik. Sebab dari angka resmi yang tercatat di Kemenaker jumlah TKA legal di Indonesia masih tergolong proporsional. Namun diingatkan agar jangan sembarang menuduh orang asing sebagai TKA. Bisa saja mereka turis yang sedang melancong. Hingga akhir 2017 jumlah TKA di Indonesia tercatat ada 85.947 orang pekerja. Tahun 2016 sebanyak 80.375 orang dan 77.149 pada tahun 2015.

Syarat Kualitatif

Sementara jumlah tenaga kerja asal Indonesia di luar negeri (TKI) di luar negeri, sesuai survei World Bank, ada 9 juta orang. Mereka tersebar di banyak negara. Sebanyak 55 persen di Malaysia, Saudi Arabia (13%), China-Taipei (10%), Hong Kong (6%), Singapura (5%). ”Jadi mestinya tak perlu dikhawatirkan, bahwa lapangan kerja yang tersedia jauh lebih banyak dibandingkan yang dimasuki oleh TKAtersebut.” Terkait Perpres Nomor 20 Tahun 2018 dimintanya jangan disalah-mengertikan. Karena Perpres itu tidak membebaskan TKA. Hanya memudahkan dari sisi prosedur dan mekanisme birokrasinya. Perpres terkait TKAitu lebih mengatur tentang teknis administrasinya agar lebih cepat dan efisien.

Hal ini diperlukan agar tidak menghambat investasi dan tidak melemahkan daya saing Indonesia. ”Investasi penting untuk menciptakan lapangan kerja lebih banyak. Karena menciptakan lapangan kerja dari APBN saja tidak cukup, ”kata Hanif.

Peraturan tentang TKAtidak pernah diubah. Mereka yang masuk Indonesia juga memiliki syarat-syarat kualitatif tertentu. Misalnya mereka harus memenuhi syarat pendidikan, syarat kompetensi, hanya bisa menduduki jabatan tertentu. TKAjuga hanya boleh bekerja dalam kurun waktu tertentu, mereka harus membayar dana kompensasi, mereka hanya bisa menduduki jabatan menengah ke atas. ”Yang pekerja kasar dulu dilarang sekarang juga dilarang.” Sementara itu ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adinegara menegaskan, kemampuan berbahasa Indonesia mesti tetap menjadi syarat wajib bagi tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. ”Sebagai alat komunikasi, bahasa Indonesia akan berperan penting dalam proses transfer pengetahuan dan kemampuan,” tegas Bhima.

Cara transfer yang cepat itu, menurut dia, dengan kesamaan bahasa dulu. ”Kan pekerja kita itu mayoritas gunakan bahasa Indonesia, bahasa yang mereka pahami bahasa Indonesia, bukan asing. Jadi TKA mesti bisa bahasa kita,” kata Bhima seusai diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (28/4).

Guru Besar FE Undip Prof FX Sugiyanto menilai, peraturan mengenai ketenagakerjaan khususnya menyangkut tenaga kerja asing (TKA) itu memang diperlukan. Hal ini penting untuk mengatur poin-poin apa saja yang sesuai atau ataupun tidak sehingga bisa ditentukan dengan jelas tindakan apa yang harus dilakukan bila terjadi pelanggaran. Jika tidak ada aturan yang jelas, malah bisa jadi mendorong tenaga asing yang bekerja secara ilegal itu masuk. Namun dalam salah satu pasal yakni di Pasal 3 misalnya terdapat aturan yang melarang TKA untuk bekerja di jabatan tertentu, yang jika dimaknai bisa berarti pada jabatan selain yang dilarang itu diperbolehkan.

Hal ini nampaknya harus mendapat perhatian karena ketentuan dalam pasal tersebut bisa berisiko sehingga harus dijelaskan secara detail jabatan apa saja yang diperbolehkan. ”Seharusnya bukan melarang TKApada jabatan tertentu tetapi TKAhanya boleh bekerja pada jabatan A-Z. Kalau melarang, jadi jabatan selain yang dilarang itu berarti boleh dong masuk itu tidak tepat saya rasa mestinya pasalnya tidak seperti itu,” ujar FX Sugiyanto.

Pengaturan TKAjuga menjadi hal penting karena itu seringkali menjadi satu paket kebijakan dengan investasi. Setiap negara juga memiliki kebijakan terkait investasi seperti misalnya Tiongkok yang mensyaratkan ada konten perjanjian terkait TKA dari negara asal investor juga harus diikutkan. Jika tidak diperbaiki bukan tidak mungkin ini bisa menjadi bola panas politik dan mendorong pekerja gelap masuk ke Indonesia.(Wahyu Admaji, Modesta Fiska, Agung PW, Budi Nugraha-23)