30 April 2018 | Wacana

TAJUK RENCANA

Stabilitas Rupiah Indikator Ekonomi

Di antara beberapa indikator untuk menilai kondisi perekonomian adalah pergerakan kurs mata uang. Bahkan pergerakan nilai tukar rupiah termasuk terpenting dalam upaya stabilisasi ekonomi dan iklim usaha. Karena dampaknya bisa ke mana-mana seperti pengaruh terhadap indeks harga saham, laju inflasi, dan pertumbuhan.

Atas dasar itulah Bank Indonesia selaku otoritas moneter perlu mencermati pelemahan kurs rupiah belakangan ini. Walaupun dikatakan sementara, tetap perlu diwasdai. Pada penutupan sesi perdagangan pekan lalu nilai tukar rupiah ditutup melemah ke level Rp 13.893 per dolar AS. Ada kekhawatiran secara perlahan akan menembus Rp 14.000 per dolar AS. Kendati Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo mengatakan angkaangka itu masih pada basis fundamental yang aman, efek psikologisnya cukup besar. Yang paling terkena langsung adalah indeks harga saham gabungan (IHSG) di bursa efek yang ikut tertekan, yakni menjadi 5.909 atau turun 2,81 persen pada minggu lalu. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan intervensi pasar dan itu masih dimungkinkan karena cadangan devisa kita kuat. Namun intervensi pun ada batasnya dan bergantung pada volatilitas kurs rupiah.

Maka kebijakan pada lapis berikutnya perlu disiapkan agar stabilitas terjaga. Langkah tersebut adalah memanfaatkan fasilitas swap dengan beberapa bank sentral seperti bank sentral Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. Hal itu penting untuk meredam arus modal keluar akibat pelemahan rupiah.

Kita tak boleh menganggap enteng gejolak rupiah akhir-akhir ini. Pertama, karena fluktuasi pasar uang sangat sensitif dan bisa memicu ketidakpercayaan pelaku pasar dan investor. Kedua, karena kita sedang memasuki tahun politik, sehingga dikhawatirkan bisa dimanfaatkan untuk mengembuskan isu yang tidak perlu dan kontraproduktif bagi perekonomian.

Harga yang harus dibayar akan sangat mahal ketika investasi tersendat, dunia usaha mengalami kesulitan, dan banyak arus modal keluar. Bank Indonesia haruslah fokus pada upaya menjaga fundamental ekonomi, termasuk cadangan devisa. Strategi lain bisa dilakukan dengan kembali menaikkan suku bunga acuan. Wacana untuk menaikkan BI 7-day Reserve Repo Rate dari posisi saat ini 4,25 persen sudah mengemuka. Meskipun demikian, perlu kajian lebih cermat mengingat hal ini lebih bersifat fundamental. Maka semua mesti mengacu pada pertimbangan mendasar terkait dengan stabilisasi sistem keuangan dan moneter. Tidak sekadar reaktif temporer. Kita percaya otoritas moneter dengan segala instrumennya akan mampu mengendalikan situasi, khususnya menjaga kurs rupiah.

Haruslah disadari faktor utamanya bukanlah domestik, melainkan gejala penguatan kurs dolar AS terhadap semua mata uang dunia yang memberikan sentimen negatif di pasar uang. Begitulah mekanisme pasar uang yang selalu mengglobal. Maka diharapkan langkah antisipasi pemerintah ataupun swasta lebih adaptif dan cepat sehingga dampaknya pun bisa dikendalikan.