image
29 April 2018 | Bincang-bincang

Khamid Istakhori :Buruh Mesti Akhiri Konflik Horizontal

Menjelang perayaan Hari Buruh Internasional (May Day), 1 Mei, apa dan bagaimana kondisi buruh dan perburuhan di negeri kita? Apa persoalan mendasar yang dihadapi kaum buruh? Berikut perbincangan wartawanSuara MerdekaGunawan Budi Susantodengan aktivis buruhKhamid Istakhori.

Apa makna perayaan Hari Buruh Internasional, 1 Mei, bagi kaum buruh?

Hari Buruh Internasional (May Day) itu sejarah besar. Bukan cuma bagi buruh, melainkan bagi manusia secara universal. Itu berkait dengan kemenangan fundamental kaum buruh berupa perubahan jam kerja jadi delapan jam. Sebelum pemogokan dan demonstrasi di Lapangan Haymarket Chicago, Amerika Serikat, 1-4 Mei 1886, buruh bekerja 12, 16, bahkan 18 jam sehari.

Pengurangan jam kerja itu sangat ideologis. Itu erat berkait dengan waktu bekerja, istirahat, dan waktu sosial sebagai manusia. Jam kerja sangat berkait dengan upah, kesehatan, keamanan, dan mempersiapkan mutu generasi mendatang. Perjuangan itu menelan korban besar, termasuk nyawa. May Day bermakna besar sebagai refleksi untuk melanjutkan perjuangan.

Apa wujud perayaan itu?

Kami menolak bujukan Menteri Ketenagakerjaan untuk merayakan May Day dengan tajuk "May Day is Fun Day". Itu semacam upaya pembelokan sejarah. Kami memiliki agenda aksi tersendiri.

Banyak kegiatan merayakan May Day. Itu sudah kami mulai awal April. Rangkaian itu sebagai prakondisi menuju aksi besar, 1 Mei, dengan sasaran pusat pemerintahan dan kekuasaan. Kenapa pemerintahan? Kami yakin, pemerintah paling bertanggung jawab atas kondisi memburuk ini. Sistem outsourcing makin merajalela, makin banyak orang kehilangan pekerjaan tetap, diganti sistem kontrak. Upah tetap murah, harga terus meroket, kesehatan dan keselamatan kerja masih jadi angan-angan.

Biasanya prakondisi menuju 1 Mei digelar di pabrik, di level kota/kabupaten. Semua terintegrasi secara nasional. Puncaknya aksi nasional 1 Mei.

Apa fokus (tuntutan) yang Anda dan kawan-kawan suarakan? Kenapa?

Banyak. Hak normatif buruh dari tahun ke tahun masih sama karena kondisi tak berubah, bahkan memburuk, seperti kontrak, outsourcing, upah, hak berserikat, PHK.

Tiga-empat tahun terakhir, kami juga menyuarakan tuntutan soal keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sebagai hak yang tak kalah penting. K3 jarang tersentuh karena bicara soal K3 dirasa kurang heroik ketimbang omong upah atau lain-lain. Padahal, K3 sangat vital. K3 bicara keselamatan dan kesehatan buruh sejak berangkat sampai pulang kerja.

Data terakhir, terjadi 105.182 kasus kecelakaan kerja dan 2.375 buruh mati karena kecelakaan kerja, 39?rasal dari sektor konstruksi, proyek infrastruktur. Kami harus menyuarakan: tempat kerja tak aman bagi buruh. Kini, tempat kerja seperti kuburan. Ada tuntutan lebih besar, yakni mengajak buruh bersama membangun kesadaran politik dan alat politik. Membangun alat politik berangkat dari kesadaran dari bawah ini penting dan dalam 10 tahun terakhir menguat.

Kini, bagaimana kondisi buruh di negeri kita?

Makin buruk. Sebab, pemerintah sangat propasar, proinvestasi, sangat neoliberal. Ketika pemerintah berkiblat ke sana, hak konstitusional buruh makin hilang. Pemerintah menghilangkan hak hidup layak. Itu ironis.

Contoh paling konkret, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Itu tak cuma membatasi kenaikan upah buruh secara signifikan setiap tahun, tetapi juga memberangus hak berunding buruh. Jika hak fundamental untuk berunding pun diberangus, apalagi harapan kami? Pemerintah selalu menggelar karpet merah bagi investasi, tetapi tak pernah pada buruh.

Apa hak buruh yang (secara mendasar) belum terpenuhi? Kenapa?

Sebagian besar hak normatif buruh dalam kondisi "darurat". Pengusaha makin berani melanggar hak buruh, meski perkara itu sudah diatur dalam undang-undang. Kenapa? Karena, pemerintah tak berani bertindak tegas. Pengawasan mandul. Penegakan hukum sangat tumpul. K3 buruk di berbagai proyek infrastruktur pemerintah merebak, tetapi pemerintah tak pernah beraksi nyata menegakkan regulasi.

Upah buruh sudah rendah, ditangguhkan pula. Upah rendah masih ditawar pengusaha dengan menunda pembayaran, mengurangi. Namun masalah terpenting kemerdekaan berserikat. Tahu kekuatan buruh jika berserikat, pengusaha menghajar sehingga buruh takut berserikat. Itu problem mendasar.

Apa pelanggaran paling sering terhadap hak buruh? Kenapa?

Pertama, soal upah. Upah murah, rendah, tak layak. Regulasi dibuat sedemikian rupa, sehingga buruh tetap miskin. Itu masalah struktural; buruh miskin bukan karena malas, melainkan dikondisikan tetap miskin. Upah itu bisa UMK, upah lembur, THR, dan lain-lain.

Kedua, jam kerja panjang. Karena upah rendah, buruh mengandalkan lembur untuk mendapat penghasilan tambahan. Tahu buruh butuh banget uang, pengusaha membuat sistem itu. Buruh bekerja dengan upah murah, target kerja berlebih, jam kerja panjang. Jam kerja panjang berimplikasi kesehatan, kecelakaan kerja, waktu istirahat, dan lain-lain.

Ketiga, hubungan kerja makin luwes dan longgar. Bentuknya bisa kontrak atau outsourcing. Buruh kontrak ibarat celana dalam. Dipakai, dicuci, dipakai, terusmenerus, jika rusak dibuang. Buruh outsourcing lebih mirip pampers, sekali pakai, tak perlu dicuci, buang. Buruh tak punya daya bertahan di tempat kerja karena mudah dipecat.

Bagaimana kebijakan perburuhan pemerintah sekarang?

Kebijakan pemerintahan Jokowi sama sebangun dengan rezim sebelumnya, bahkan mirip Orde Baru. Mengabdi dan berkiblat ke kepentingan pasar, kapitalisme global, dan negara donor. Ya, semua (kebijakan) dibuat untuk memenuhi permintaan mereka.

Kini, hampir tak ada lagi kebijakan perburuhan pemerintah yang bisa dianggap baik. Semua neolib. Jokowi pernah menandatangani Piagam Marsinah, janji jalan kesejahteraan bagi buruh. Implementasi nol!

Apa harapan pada pemerintah berkait dengan kebijakan perburuhan?

Apa masih pantas berharap? Tak ada lagi harapan, tak bisa lagi menyandarkan jalan perubahan ke pemerintahan sekarang dan sesudahnya. Selama jalan neolib jadi pilihan, kemerosotan hidup buruh adalah keniscayaan.

Apa harapan bagi sesama (organisasi) buruh di negeri ini?

Berhenti bertikai! Kini, sesama buruh, serikat buruh, saling mencurigai. Serikat A dukung calon presiden B, serikat C dukung D. Begitu seterusnya. Sial, serikat buruh yang masih waras dan tak terjebak dukung-mendukung tak segera mampu menawarkan jalan alternatif.

Serikat buruh mesti mengakhiri konflik horizontal, duduk bersama, merumuskan jalan perubahan. Dari yang ringan dan sederhana sebagai latihan bersama, lalu bergerak, omong soal lebih besar. Kunci jalan perubahan selalu dimulai dari membangun basis bawah. Fondasi kuat dari bawah. Bukan top down.

Kini, modal menggurita secara global. Korporasi juga mendunia. Serikat buruh tak bisa lagi asyik dengan diri sendiri. Harus keluar dari situasi itu, membangun semangat lebih luas, semangat internasionalisme. Cuma dengan cara itu serikat buruh bisa makin berdaya.(44)