image
28 April 2018 | Wacana

Menyoal Perjuangan Emansipasi Perempuan

  • Oleh Zulfatun Mahmudah

DISKRIMINASI, sebuah kata yang sering dilihat sebagai sesuatu yang menyudutkan perempuan. Karena diskriminasi itulah, perempuan kerap menuntut sebuah emansipasi.

Bahkan perempuan kerap mengungkapkan emansipasi sebagai sebuah perjuangan. Hingga pada akhirnya perjuangan itu melahirkan sebuah kesetaraan.

Jika kita tarik benang merah antara diskriminasi, emansipasi, dan kesetaraan, maka akan melahirkan berbagai pertanyaan. Diskriminasi oleh siapa, emansipasi terhadap siapa, dan kesetaraan dengan siapa.

Jawabannya tentu saja tidak lain adalah makhluk Tuhan yang bernama laki-laki. Ya, laki-laki menjadi pihak tertuduh yang paling dominan atas ketidaksetaraan yang dialami kaum perempuan.

Jika bicara untung rugi, bagi sementara pihak, lahir sebagai perempuan barangkali menjadi sesuatu yang kurang menguntungkan. Sebab, perempuan sering merasa tidak setara, yang berujung pada perbedaan hak dengan laki-laki. Lantas bagaimana dengan perbedaan kewajiban? Sepertinya bagian yang ini kurang menarik untuk dibicarakan. Umumnya perempuan hanya menuntut kesetaraan hak, bukan kesetaraan kewajiban. Kedengarannya memang sedikit aneh. Namun, itulah faktanya. Kesetaraan lebih ditekankan pada tuntutan terhadap hak, bukan kewajiban.

Kesiapan Perempuan

Sebelum menuduh diskriminasi sebagai biang terpinggirkannya kaum perempuan dari sektor publik, ada baiknya kita mencoba menengok kesiapan perempuan. Sudahkah perempuan memiliki kemampuan untuk bersaing dan eksis?

Dilihat dari sisi pengalaman dan ilmu pengetahuan, masih cukup banyak perempuan yang kurang membekali diri dengan hal tersebut. Padahal kedua hal itu mutlak harus dimiliki ketika perempuan ingin eksis di lembaga publik.

Ketidaksiapan itu bisa dilihat ketika perempuan menuntut sejumlah kursi di legislatif. Perempuan ingin diberi hak yang berimbang dengan laki-laki, demi menyuarakan aspirasi kaumnya di lembaga wakil rakyat. Sayang sekali, ketika perjuangan itu berhasil, justru perempuan yang tidak siap. Kuota 30 persen yang diberikan kepada perempuan tidak bisa terpenuhi. Sejumlah partai politik bahkan kesulitan mencari kader perempuan yang siap menduduki kursi legislatif, sesuai prasyarat yang sudah ditentukan.

Ujung-ujungnya partai politik menaruh sembarang nama tanpa mempertimbangkan kualitas perempuan yang dinominasikan, hanya demi memenuhi regulasi pencalonan anggota legislatif.

Persoalan tidak berhenti sampai disitu saja. Sejumlah perempuan yang berhasil masuk lembaga wakil rakyat itu pun, nyaris tanpa suara. Mereka tidak lebih sebagai pelengkap penderita. Suara DPR dari pusat hingga daerah lebih didominasi oleh laki-laki. Bahkan untuk memperjuangkan nasib kaumnya sendiri, seolah masih bergantung pada suara laki-laki. Mungkinkah ini faktor ilmu pengetahuan dan pengalaman yang juga tidak memadai?

Perempuan yang dikenal teliti dan intelligen sesungguhnya memiliki peluang sangat besar untuk eksis di berbagai sektor. Namun, perempuan sendiri yang kadang membuat sekat-sekat bahwa sektor tertentu tidak layak untuk perempuan. Dunia militer misalnya, kurang mendapat minat perempuan, karena dianggap tidak sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan yang terlahir penuh kelembutan. Padahal dunia militer membuka kesempatan seluas-luasnya bagi putra-putri bangsa, tanpa membedakan jenis kelamin.

Pemikiran keterbatasan fisik perempuan, menjadi persoalan tersendiri, selain kurang siapnya perempuan dari sisi ilmu pengetahuan dan pengalaman. Perempuan menghakimi dirinya sendiri sebagai kaum yang lebih pas menonjolkan penampilan fisik, dibanding pikirannya. Kondisi ini menggiring perempuan sibuk memikirkan penampilan ketimbang membekali dirinya dengan berbagai kemampuan.

Memikirkan penampilan dengan beragam kosmetik tentu saja bukan sesuatu yang salah, apalagi berdosa. Persoalannya, ketika penampilan itu diorientasikan sebagai sesuatu yang layak dinikmati, perempuan akan kembali menjadi objek. Lantas, masih wajarkah perempuan mununtut kesetaraan?

Sudah saatnya perempuan membekali diri dengan berbagai kemampuan jika ingin eksis di sektor publik. Pembicaraan persoalan emansipasi bisa jadi justru akan membawa perempuan pada perdebatan yang tidak berujung.(42)

Zulfatun Mahmudah, mahasiswa Program Master Ilmu Komunikasi London School of Public Relation (LSPR) Jakarta