28 April 2018 | Wacana

TAJUK RENCANA

UU Media Sosial, Suatu Keharusan

Usulan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) agar legislatif merumuskan dan menerbitkan undangundang media sosial layak mendapat dukungan, dorongan, dan apresiasi yang tinggi. Respons dari Ketua DPR RI Bambang Soesatyo yang berjanji akan mengkaji usulan itu untuk menjadi inisiatif DPR atas RUU Media Sosial juga merupakan tanggapan positif yang memberi kelegaan. Di tengah perkembangan deras teknologi informasi, UU itu diperlukan sebelum terlambat.

Keprihatinan masyarakat atas persoalan-persoalan yang timbul akibat penggunaan media sosial, yang disuarakan pula oleh PWI, diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan cepat. DPR RI perlu segera mengkaji usulan RUU media sosial sebelum dampak buruk kehadiran media sosial sudah terlalu terlambat untuk diatasi dan dipulihkan. Aktivitas politik saat ini paling banyak menggunakan platform media sosial, namun payung hukum dibutuhkan lebih luas dari itu.

Selain wabah informasi palsu, misinformasi, hoaks, ujaran kebencian yang makin meruyak akibat kompetisi politik, persoalan-persoalan terkait perusahaan media sosial seperti pajak dan aspek-aspek legal lainnya juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Aktivitas bisnis dan ecommerce saat ini berlangsung bebas, nyaris tanpa kontrol dan kendali regulasi. Seolah-olah, warga diuntungkan dengan kebebasan berbisnis melalui media sosial, tetapi sesungguhnya banyak pihak dirugikan.

Pengalaman Amerika Serikat bisa menjadi contoh berharga akan betapa darurat dan penting kehadiran undang-undang media sosial. Pemilihan Presiden 2016 berbuntut pada terungkapnya intervensi asing, dalam hal ini Rusia, melalui media sosial. Agen-agen Rusia diduga memanfaatkan media sosial untuk mendukung pencalonan Donald Trump dan merongrong kampanye Hillary Clinton. Amerika mulai berpikir bahwa kehadiran media sosial juga bisa merusak demokrasi.

Di Indonesia pun, gejala semacam itu sedang terjadi. Media sosial tidak lagi hanya sebagai sarana untuk berjejaring dan berkomunikasi, tetapi sudah menjadi alat politik dan kekuasaan. Selama ini, penegakan hukum hanya dilakukan dengan landasan UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU Nomor 11/2008. Regulasi dengan UU ITE lebih banyak tertuju pada pengguna yang diduga menyalahgunakan konten saat beraktivitas di jejaring media sosial.

Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang 2016 saja ada lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar tuduhan pencemaran nama baik, penodaan agama, dan ancaman, yang berbasiskan UU ITE. Kejahatan siber tidak hanya terkait dengan tiga hal itu, tetapi juga banyak hal lain yang bersentuhan dengan kepentingan ekonomi dan negara. Maka, tidak dapat ditawar lagi, kehadiran undang-undang media sosial sungguh urgen.