image
22 April 2018 | Bincang-bincang

Tertawa Saja

Timbul: Ini keris bukan sembarang keris. Keris ini dulunya ular! Asmuni: Wuih, hebat! Kok bisa? Timbul: Dulu saya punya ular. Ularnya saya jual, saya belikan keris. Ha-ha-ha-ha. Siapa pun yang kenal dua tokoh itu pasti tertawa mendengar dialog khas dengan logika Srimulat. Srimulat, grup lawak yang berdiri pada 1950 dan kondang setelah tampil di televisi pada 1990-an, memang terkenal dengan permainan logika cerdik seperti itu. Kok cerdik?

Ya, iyalah. Ucapan Timbul itu benar, tetapi tidak logis. Karena tidak logis itulah, kita tertawa. Dulu, masyarakat tertawa bahagia gara-gara lawakan Srimulat. Sekarang, rupanya banyak penjiplak Srimulat yang justru memprihatinkan. Lo?

Di televisi apa ditayangkan Srimulat KW? Bukan hanya di televisi, melainkan di banyak tempat dipertontonkan pertunjukan yang sebetulnya lebih parah dari Srimulat karena bukan mempertontonkan permainan logika, melainkan memelintir logika.

Debat para politikus atau pernyataan para politikus akan lebih ramai dan lebih laku jika menerapkan prinsip Srimulat KW. Tidak usah logis, asal kauanggap benar dan kau bisa yakinkan itu benar, maka benar dan logislah itu. Ketika seorang politikus mengkritik kerja seorang menteri dan balik ditanya kinerjanya, jawabannya sangat tangkas. ”Itu akan saya jawab dalam tiga buku yang segera terbit.” Wow! Dan, para pendukung memujinya sebagai jawaban cerdas. Sebaliknya, para haters langsung berteriak, ”Ditanya kok malah jualan buku. Gak nyambung.”

***

NYAMBUNG gak nyambung, logis tak logis, percakapan model itulah yang sering menjadi trending topic dan disukai banyak orang. Lantas bagaimana dong? Bukankah itu bisa jadi sumber dan pendorong kemunculan hoax, misinformasi, dan disinformasi? Misinformasi memang semata-mata menyebar informasi yang salah tanpa maksud apa-apa, sedangkan disinformasi dengan sengaja menyebar informasi keliru untuk membuat kebenaran informasi asli berkurang agar publik tidak lagi meyakini informasi itu. Akibat penyebaran hoax dan informasi sesat, berbagai pihak berpikir betapa penting literasi media. Itu bagus, tetapi ada yang luput dari perhatian. Masyarakat kita barangkali adalah masyarakat yang tidak peduli terhadap logika, sehingga menganggap apa pun sebagai benar dan kebenaran.

Padahal, kalau paham betul dengan logika, tidak perlu keburu marah jika ada suatu pernyataan. Contoh, si Abilang, ”Alkitab itu fiksi.” Jangan buang energi untuk marah dulu. Sebab, dalam logika, kalimat itu disebut definisi. Dan, sebenarnya, yang dapat diberi definisi adalah konsep-konsep sekunder. Konsep primer, yaitu konsep yang transendental, hanya dapat diuraikan. Kalau tahu bahwa si Ahanya bermain definisi padahal hal itu tidak bisa didefinisikan, tidak beda kan dari percakapan Timbul dan Asmuni? Jadi, ya tertawa saja.... Ha-ha-ha.

***

MASIH kurang yakin? Melalui pengenalan logika, kita akan cepat mengetahui kekeliruan, yang dibagi dalam dua bagian, yakni kekeliruan bahasa dan kekeliruan karena pikiran kacau. Misalnya, menggunakan kalimat yang berarti dua. ”Kami berjanji akan melanjutkan jalan yang telah dirintis sebelumnya.” Jangan keburu senang mendengar janji bersifat amfibologi itu. Sebab, dilanjutkan ke mana?

Ke arah yang sama atau ke arah berbeda?

Kekeliruan karena pikiran kacau banyak contohnya. Mencampuradukkan hal yang hakiki dalam hal yang kondisional adalah kekeliruan pikiran yang sering terjadi. Contoh, kendaraan bermotor menyebabkan banyak kecelakaan, maka kendaraan bermotor haruslah dilarang. Ada lagi, misalnya, sah dalam arti tertentu tetapi kemudian dimutlakkan. Contoh, dia seorang ayah yang baik, maka dia adalah orang baik. Kedengarannya benar, tetapi keliru logika.

Banyak lagi sebetulnya kekeliruan karena pikiran kacau, seperti argumen ad populum (membangkitkan prasangka kelompok), argumen ad misericordiam (seruan membangkitkan belas kasihan). Contoh paling sering adalah kondisi atau syarat dianggap sebagai sebab. ”Saya tidak dapat berpikir tanpa otak saya. Jadi otak saya adalah sebab dari pikiran saya.” Nah, karena itu disarankan kuasailah logika dan tertawakanlah kekacauan pikiran yang menjadi-jadi sekarang ini karena tertawa itu sehat.

Salam sehat.(44)