image

Benteng tua di kota Istanbul : Perangkat tiga dimensi di Panorama 1453 : Gambaran penaklukan Konstantinopel : Berbagai penganan di etalase

22 April 2018 | Jalan-jalan

Tersandera di Panorama 1453

  • Oleh Dwi Setiady

Turun dari bus, hujan salju dari langit yang pekat tiba-tiba turun. Tirai air hujan terasa mengiris suasana menjelang siang yang tak terlalu manis di salah satu pojokan kota Istanbul, Turki. Pasalnya, meski jaket sudah tebal, dingin masih saja terasa menusuk tak hanya kulit tetapi juga tulang.

Modal lain adalah suntikan vaksin flu, yakni Flubio buatan Bio Farma, sebagai salah satu cara menjaga daya tahan tubuh di tengah cuaca seperti itu. Suhu di bawah 5 derajat Celcius. Sambil berjalan, saya berupaya menikmati serutan es dari langit itu seraya bersiap mereguk sajian lain.

Ya, kami baru saja tiba di Panorama 1453, sebuah museum sejarah yang dibuka pada 2009. Museum itu berada di kawasan Taman Budaya Topkapi. Itulah museum yang menawarkan atmosfer: rekontruksi kejayaan Sultan Muhammad Al Fatih atau Mehmet II dalam menaklukan Konstantinopel.

Bagaimana strategi sang penakluk bisa dirasani sebelumnya dengan memperhatikan peninggalan benteng-benteng kota tua di kota yang kini bernama Istanbul. Itulah benteng tercanggih pada zamannya. Bagaimana tidak?

Benteng itu dibangun dengan fasilitas pengamanan tiga lapis. Parit sebagai perlindungan pertama, tembok antara, dan tembok terakhir yang dibangun dengan dimensi lebih tinggi. Itu kami saksikan saat bus membelah jalanan di kota pelabuhan di negara dua benua itu. Bangunan-bangunan bekas benteng tua banyak kami temui di berbagai sudut kota. Hanya strategi brilian yang mampu membobol. Bagaimana ceritanya?

Itulah yang disajikan dalam Panorama 1453. Kegigihan, gairah, dan hasrat Sultan Mehmet II direpresentasikan dalam balutan gambar tiga dimensi yang benar-benar memberikan sensasi langsung dan luar biasa bagi pengunjung.

Kuat Menggoda

Panorama pasukan, aksi pengepungan, gelar peperangan, hingga benteng-benteng yang hendak dibongkar Al Fatih terhidang dalam satu tarikan. Semua berangkai. Belum lagi musik pengiring yang membuat suasana saat itu seperti tertancap ke dimensi saat ini.

Pasukan berkuda, bola api-bola api, reruntuhan benteng yang terhantam serangan, hingga langit yang kelam seperti menarik cepat ke masa lalu. Anggaplah, saya berada di tengah-tengah bawah kubah. Kemudian langit-langit hingga bidang sekeliling posisi berdiri penuh panorama sejarah itu. Tak ada guman yang bisa keluar selain wow sepanjang pandang menjelajah sekeliling. Pandang depan, belakang, samping, dan memutar dengan menyisir langit-langit ruangan sebelum tiba di sudut lain, semua menawarkan: betapa kolosal suasana penaklukan Bizyantium oleh aksi seorang pemuda pilihan.

Dengan daya tarik panoramik yang kuat seperti itu, wajar jika keinginan eksis di media sosial begitu kuat menggoda. Bisa swafoto, foto bersama, atau bikin video pendek, sehabishabis memori. Dan, itu memang sangat-sangat memungkinkan, karena atmosfernya yang bikin gatal tangan untuk mengoprek dengan cekrak-cekrek kamera. Pokoknya, bikin kagum dan senyum-senyum lebar. Tarikan-tarikan ke masa lalu begitu kuat. Sebelumnya, kami menyusuri kawasan Sultan Ahmet. Di antaranya dengan menyempatkan diri makan di Rumah Makan Ibu Deden yang namanya diabadikan setelah mengajarkan menu Indonesia ke warga lokal. Di kawasan yang sama, kawasan tertua di Istanbul, kami pun menyempatkan diri ke Blue Mosque.

Itulah masjid biru yang dibangun pada periode 1609-1616. Interior tempat ibadah itu sungguh mengagumkan. Cocok untuk berlama- lama, setidaknya untuk bertafakur. Sayang, saat itu kami sedang tak luang waktu. Masjid itu berdekatan dengan Hagia Sophia, bekas bangunan basilika, masjid, dan sekarang menjasi museum. Kemegahannya terasa, terutama kubahnya, dan tak menyurutkan untuk sekadar menikmati bangunan itu, di tengah dingin yang tak kunjung berubah menghangat.(44)