22 April 2018 | Serat

ESAI

Danarto dan Ra Lilur: Sebuah Obituari

  • Oleh Wahyu Budiantoro

Pada 10 April 2018, dua tokoh meninggal. Pertama, sastrawan sufi Danarto (1941-2018) meninggal akibat kecelakaan di Ciputat, Tangerang. Kedua, Ra Lilur, sapaan akrab Kiai Kholilurrahman, putra Kiai Ahamd Tamyiz dan Romlah — cucu Syaikhona Kholil, Madura. Kedua tokoh itu berkiprah di jalan kebaikan berbeda, tetpai memiliki satu dimensi pada frekuensi sama, yaitu jalan sufi. Abdul Hadi WM menyatakan sufi merupakan manusia yang diberi karunia oleh Allah pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan, dan kesatuan mistikal dengan Yang Transenden.

Pengalaman itu di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis (Hadi WM, 2016: 51). Berangkat dari argumen itu, dimensi kesufian Danarto dan Ra Lilur dapat diidentifikasi, setidaknya melalui beberapa karya sastra dan kesaksian orangorang terdekat. Capaian sastra sufi Danarto dapat dilihat saksama antara lain dalam empat kumpulan cerpen, yaitu Godlob (tulisan 1967, terbit 1975), Adam Ma’rifat (yang memenangi Hadiah Sastra 1982 dari Dewan Kesenian Jakarta dan Hadiah Buku Utama 1982), Berhala (1987), dan Gergasi (1989). Danarto juga menulis dua buku esai, Begitu Ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu dan Gerak-gerik Allah; keduanya terbit 1986. Catatan perjalanan haji dan umrah Danarto terbit dengan judul Orang Jawa Naik Haji dan Umroh (2016). Taufiq Ismail mengungkapkan buku itu bukanlah catatan biasa. Itulah catatan perjalanan rohani seorang muslim Indonesia, yang ditakdirkan menjadi orang Jawa. Buku yang diselingi kejenakaan, dan pembaca merasakan kehangatan iman.

Danarto dengan apik mencatat beberapa peristiwa sufistik dengan humor. Kutipan berikut memperlihatkan narasi kejenakaan Danarto. “Di Yordania, kami menyempatkan diri mandi-mandi di Laut Mati. Laut yang kadar garamnya sangat tinggi sehingga orang tak bisa tenggelam itu, memikat saya untuk ikut menyelam dan (purapura) berenang (karena saya tak bisa berenang) dengan kain sarung, meneladani Kiai Umar” (“Mandi-Mandi di Laut Mati”, halaman 166). Danarto menyikapi fenomena alam dengan kesederhanaan dan keteladanan. Danarto berenang memakai sarung, khas santri di Indonesia, khususnya Jawa.

Kesederhanaan Hidup

Makin nyufi kian sederhanalah sikap hidup seseorang. Seorang sufi telah khatam dalam memahami diri sendiri, sehingga memahami tugas pokok dan fungsi kemanusiaan (secara sosial dan kultural). Sikap hidup semacam itu juga tergambar pada mendiang Ra Lilur. Narasi sufi begitu kental menyelimuti hidupnya. Dia ulama zuhud dan sederhana. Kerap dia berbaju putih, celana hitam setinggi lutut, dan senter kecil ke mana-mana.

Dengan pakaian ala petani itu, sekilas tak akan ada orang mengira sia ulama besar, cicit Syaikhona Kholil (www.nu.or.id). Baju putih dan celana hitam yang sering dia kenakan merupakan lambang dari jiwa kehidupan manusia. Baju putih simbol kehidupan yang suci; transendensi total pada Allah dan kebermanfaatan hidup. Celana hitam representasi hawa nafsu. Bila manusia ingin sampai ke makamah sufi, harus lebih dulu menyingkirkan dan menghapus semua nafsu destruktif agar sampai di ketinggian dan kesucian jiwa yang hakiki. Ra Lilur, pada sebuah episode hidupnya, pernah membakar Pesantren Syaikhona Kholil yang diasuh sang kakak, KH Abdullah Schall. Konon, peristiwa itu merupakan isyarat: kelak Pesantren Syaikhona Kholil akan berkembang pesat dan memiliki bangunan tinggi megah setinggi asap yang mumbulsaat peristiwa itu.

Dia juga pengamal tirakat tinggi. Sering dia berkhalwat jauh dari hirukpikuk duniawi. Peristiwa pembakaran pesantren dan kegemaran berkhalwat merupakan tamsil atas dimensi sunyi manusia yang membakar berhala di dalam diri. Khalwat Ra Lilur mengambil semangat sufistik Nabi Muhammad saat mendapat wahyu melalui Malaikat Jibril di Gua Hira.

Dari prosesi itulah Nabi Muhammad mendapatkan mandat profetik. Sebagaimana kiai dan pesantren dibebani fungsi sosial dan kultural, selain fungsi imanen yang mutlak. Karena itulah, ketiadaan Danarto dan Ra Lilur merupakan peristiwa “perjalanan pulang” ke rumah abadi, setelah sekian lama menulis dan memberikan teladan baik pada manusia di sekeliling mereka.

Mereka dirindui oleh Sang Mahasufi. Saya membayangkan, Danarto dan Ra Lilur berjalan bersama menuju rumah. Di sepanjang jalan mereka berbincang ihwal pertemuan dengan Nabi Adam dan malaikat yang berpakaian putih hingga sampai pada perjumpaan yang agung. Semoga khusnul khatimah.(44)

- Wahyu Budiantoro, lahir di Purwokerto. Saat ini bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto sebagai manajer pelaksana. Buku pertamanya, Aplikasi Teori Psikologi Sastra: Kajian Puisi dan Kehidupan Abdul Wachid BS (2016).