image
15 April 2018 | Bincang-bincang

Melati Suryodarmo: Tubuh Modal bagi Penari

Melati Suryodarmo adalah seniman performance asal Solo. Dia berkecimpung di dunia seni rupa mulai 1994 dengan fokus belajar bidang studi Konsep Ruang dan Performance Art di Hochschule fuer Bildende Kuenste Braunscweig (HBK), Jerman. Selama 20 tahun, dia telah menampilkan karya di berbagai festival internasional. Berikut perbicangan wartawan Suara Merdeka Aristya Kusuma Verdana dengan dia mengenai dunia tari.

Apa latar belakang dan dipengaruhi oleh apa kerja seni Anda?

Bagi saya, karena mulai belajar seni di Eropa, pendidikan merujuk ke pendidikan Barat. Otomatis pengaruh dari kesejarahan estetika yang saya anut banyak dipengaruhi dari sana. Namun itu bagian dari proses. Semua penari belajar tari tradisi dari gurunya, sekolah, tradisi. Selanjutnya tergantung pada dia, mau mengembangkan atau tidak. Tidak masalah keterpengaruhan dari mana.

Konsep tubuh seperti apa yang Anda hadirkan dalam pertunjukan?

Dalam performance art, yang menarik sebenarnya menghadirkan tubuh sebagai bagian penting dari karya. Secara estetika tidak merujuk ke batas konvensional dalam seni pertunjukan seperti tari, teater, musik. Termasuk tidak merujuk ke batas konvensional seni rupa, mengingat performance art berbasis seni rupa sebenarnya muncul dari gagasan konseptual. Di Eropa, itu ada sejarahnya. Tubuh dalam performance art bukan pertunjukan, karena tidak mempertunjukkan. Dia melakukan, yang penting aksi. Tubuh dibawa dalam kondisi natural. Kesatuan antara pikiran dan tubuh.

Tubuh sebagai simbol yang mewakili metafora. Dia tidak selalu mewakili peran tertentu. Dia mewakili diri sendiri juga. Dalam kesatuan dengan tindakan itu muncul metafora baru atau pemahanan baru, muncul konsep yang dimaksud. Dipahami atau tidak oleh penonton, itu menjadi karya. Menyikapi itu adalah karya.

Bagaimana cara menyikapi performance art?

Hal yang tidak bersifat seperti pemaknaan yang harus dipahami, slogan, pesan, yang bersifat verbal, atau tarian dramatik. Performance art bukan begitu. Performance art pun banyak dilakukan orang-orang dari latar belakang musik, teater, tari. Mereka mengembangkan tari keluar dari pakem. Asalnya tari modern, tari kontemporer, mereka membuat karya berdasar konseptual.

Saat ini, perkembangannya di dunia kontemporer saling mengambil unsur, mengambil elemen tari dalam performance art dari karya koreografi musik. Akhir Mei nanti saya mengajar di Italia pada para komposer. Mereka belajar membuat konseptual komposisi. Keinginannya berwujud performance art. Bagaimana menggunakan ruang, tubuh, pemain musik, objek yang menimbulkan bunyi? Bagaimana menyikapi? Itu dipelajari para komposer. Para pemusik ingin performance art mempelajari ruang serta hubungan tubuh dan bunyi.

Bagaimana perkembangan tersebut?

Saya pikir itu perkembangan menarik. Zaman sekarang jika tak membuka diri pada disiplin berbeda agak sulit. Tetap harus ada yang klasik, itu tetap harus penting. Supaya bisa kontemporer, harus klasik dulu. Di Barat, tari kontemporer harus bisa balet lebih dulu.

Apa yang harus diperhatikan pada tari kontemporer?

Kesenian kontemporer yang penting adalah pemikiran yang berhubungan dengan spirit zaman. Itu mesti ditingkatkan. Tidak hanya pendekatan bentuk, tubuh, koreografi dalam arti terbatas pada gerak. Namun koreografi yang berbasis pemikiran, berbasis konseptual, teater konseptual itu bagaimana?

Bagaimana bisa meninggalkan akting jika belum bisa akting. Itu berarti tidak meninggalkan. Dia mencari alternatif lain karena tidak bisa akting. Jangan bilang meninggalkan tradisi, tetapi tradisi belum paham betul. Itu namanya patah semangat. ”Saya tidak bisa tradisi. Jadi saya mencari alternatif lain sesuai dengan tubuh saya.î Itu lebih jujur. Banyak yang salah kaprah tentang hal itu.

Ketika melakukan performance art, apa yang Anda persiapkan?

Pemikiran, mental, kejiwaan. Walau tetap makan, apa yang saya makan? Itu saya atur. Latihan napas seperti biasa.

Bagaimana hubungan pikiran dan napas supaya tidak panik. Lelah itu tentang mengatur napas, organ tubuh bagian dalam. Itu penting. Saat tubuh kepanasan, kita bisa mengontrol tubuh dengan mendinginkan hormon tiroid. Penting memahami organ dan anatomi. Itu sangat membantu. Bagaimana bisa performance art 12 jam kalau tidak memahami semacam itu. Pemanasan tubuh pasti.

Memang saya tidak latihan dengan cara hitungan seperti setelah bergerak ke kanan lalu ke kiri dengan 10 langkah. Saya siapkan tubuh, pikiran, dan niat. Performance art seperti laku.

Apa artinya seperti laku itu?

Saya ambil contoh tari tradisi Bedaya Ketawang. Itu laku penari. Dia harus mengalami pencerahan setelah menari. Jadi bukan sekadar pentas, ditonton orang. Dulu tidak seperti itu. Mudah-mudahan karena banyak dibicarakan, penari-penari tradisi muda mulai mencari lagi. Apa pencerahannya setelah menari begini? Jadi tidak hanya bagusbagusan dengan konstum menarik, gemerlap, mewah, foto bagus, kemudian diunggah di media sosial. Itu memang tak bisa dihindari. Namun sebagai pelaku seni harus menyadari yang penting menggunakan tubuh untuk mengalami.

Pengalaman mengalami dengan sadar yang dilakukan itu apa? Seorang koreografer yang tidak ikut menari, saat melihat karyanya dipentaskan oleh penari yang bagus, pasti terharu. Perasaannya hanyut. Paling berat itu membuat si penari mengalami hal yang sama dengan koregrafer. Itu sulit sekali.

Menurut Anda bagaimana konsep koreografi itu?

Koreografer itu meminjam tubuh penari, meminjam kemampuan paneri. Tanpa penari bagus, koreografi sulit mencapai maksimal. Bagi saya, penting sekali mentransfer pemikiran, supaya ada motivasi di tubuh penari. Koreografi seperti ini, motivasinya apa. Itu proses menarik. Saya bukan tipe koregrafer dengan hitungan. Saya sudah lepaskan hal itu. Dalam gerak tertentu, saya gunakan hitungan itu.

Berapa lama Anda menggarap koreografi?

Transfer pemikiran itu susah. Tuning-nya, kalau musik, itu lama. Koreografi dengan hitugan bisa cepat dikerjakan. Koreografi yang saya kerjakan berproses selama satu tahun. Latihan intensif dua minggu selama dua jam sehari. Kemudian istirahat. Nanti dua minggu, lagi. Itu alasan penggarapan saya agak mahal. Karena, penari saya harus dibayar layak.

Bagaimana cara kerja Anda?

Lebih semacam kolektif atau kebersamaan. Artinya, saya senang dekat dengan kehidupan seniman lain. Jadi saya memahami realitas mereka. Dalam kesenian, manusia punya kehidupan yang harus memikirkan ekonomi dan sosial mereka. Tidak selalu tentang karya. Keseimbangan perekonomian dan proses berkarya.

Tidak memalukan jika seniman bekerja keras untuk bertahan hidup. Di Indonesia sepertinya kehidupan berjalan sulit. Bagi saya itu bukan sulit. Kita masih terlalu malas. Dibandingkan dengan teman saya di Jerman, kita bekerja di pabrik, membuat karya, mempunyai anak.

Tidak ada pembantu, orang tua, saudara yang membantu, dan segala macam. Di sana lebih berat. Bukan berarti di Eropa lebih enak. Di Indonesia lebih enak sebenarnya. Kalau bisa mengatur waktu, pasti bisa. Namun banyak yang malas, termasuk dalam gaya hidup. Itu persoalan pribadi masing-masing.(44)