15 April 2018 | Serat

ESAI

Agama dan Politik dalam Puisi

  • Oleh Dhoni Zustiyantoro

Puisi ”Ibu Indonesia” yang dibacakan Sukmawati Soekarnoputri di Jakarta, awal April, berujung kontroversi. Di media sosial riuh hujatan terhadap anak Soekarno itu lantaran puisi yang dia baca dinilai merendahkan martabat agama Islam. Sejumlah bait secara jelas mempertentangkan budaya dan agama. Kontroversi pun makin berkobar ketika isu agama belakangan menjadi sangat sensitif di masyarakat, dikipasi segelintir orang yang punya kepentingan politik.

Seberapa jauh puisi menjadi sarana ketidakterimaan masyarakat terhadap realitas. Sebelum kemerdekaan, sastra Jawa merekam keadaan lewat sejumlah karya, misalnya Gatoloco dan Darmogandhul. Kedua puisi berwujud tembang berbahasa Jawa modern itu berisi kritik atas kedatangan Islam di Jawa.

Melalui rangkaian cerita, kedua serat yang berkaitan itu secara eksplisit mengisahkan kekecewaan terhadap kemasifan penyebaran Islam, yang membuat manusia Jawa tradisional dianggap makin meninggalkan kaidah budayanya. Puisi yang mengetengahkan ironi, misalnya karya Wiji Thukul, mengajak pembaca kembali merekonstruksi nalar politik penguasa.

Pada masa Orde Baru itu, pemerintah menjadikan rakyat sekadar komoditas yang dicekoki romantisisme pembangunan semu. Puisi Wiji Thukul pun menyentuh lapisan bawah masyarakat dengan mengetengahkan isu sosial dan kemanusiaan yang tak muncul di permukaan. Tak pelak, penguasa pun kebrongot.

Politik di tangan puisi jadi bahan segar untuk direfleksikan, meski berdampak sangat menyerikan: bui, buang, atau bunuh. Gaduh puisi bukan hal baru. Dulu, esensi puisi lebih ekstrem, baik dari segi metafor maupun maksud yang tersirat. Belakangan, puisi jadi makin dimaknai secara dangkal. Proses pemaknaan dilepaskan dari konteks: kapan, oleh, dan untuk siapa puisi dibuat.

Bagaimana puisi mesti dimaknai sesuai dengan konteks? Puisi kehilangan esensi karena kini muncul fenomena berkebalikan; banyak orang secara serampangan memaknai puisi sesuai dengan bingkai dan justifikasi berdasar sentimen pribadi dan identitas suku, agama, ras, dan antargolongan. Puisi kini dimaknai sesuai dengan apa yang disukai dan tidak disukai pembaca.

Mari kita baca bait pertama puisi ”Ibu Indonesia”: Aku tak tahu Syariat Islam/Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah/Lebih cantik dari cadar dirimu/Gerai tekukan rambutnya suci/Sesuci kain pembungkus ujudmu/Rasa ciptanya sangatlah beraneka/Menyatu dengan kodrat alam sekitar/Jari jemarinya berbau getah hutan/Peluh tersentuh angin laut.

Sebelum memaknai soal budaya yang dipertentangkan dengan agama, puisi itu telah membatasi diri sejak kalimat pertama: ”Aku tak tahu Syariat Islam”. Dalam proses pembacaan secara semiotis, ”ketidaktahuan” itu jadi penanda utama keseluruhan isi puisi.

Jika demikian, metafor ”sari konde ibu Indonesia sangatlah indah/lebih cantik dari cadar dirimu”, tak lepas dari ”ketidaktahuan” akan kaidah dalam syariat Islam. Narasi dalam bait-bait berikutnya pun tak lepas dari penanda utama itu. Analogi ketidaktahuan bisa kita pahami secara amat sederhana. Misalnya, ”saya tak tahu luar angkasa, yang saya tahu bumi itu datar”.

Atau, ”saya tak tahu steak enak, yang saya tahu lontong tanjung khas Kudus makanan paling enak”. Dalam studi stilistika, pembingkaian dengan mempertentangkan dua hal di dalam puisi lumrah. Itu diperlukan untuk mengukuhkan keberadaan salah satu pihak.

Pemahaman Terdistorsi

Secara konteks, puisi mesti didudukkan sesuai dengan kepentingannya, yakni pada siapa puisi itu didedikasikan dan bisa jadi terbatas di ruang lingkup tertentu. Pemaknaan itu bisa dilakukan siapa pun dan tidak harus menguasai ilmu susastra secara memadai.

Namun, sekali lagi, itu hanya bisa dilakukan dengan upaya memahami, yang berbeda dari sekadar mengetahui. Dalam proses memahami, ada proses menangguhkan (menunda untuk kemudian menelaah) yang merupakan konsep dasar penerapan studi hermeneutik.

Upaya memahami akhir-akhir ini makin terdistorsi oleh ”kebenaran massa” yang digerakkan kelompok tertentu. Dan, akhirnya, massa pun makin terdidik tidak perlu memahami sampai pada kebenaran faktual, baik secara nalar sehat maupun metodologi.

Sukmawati membacakan puisi itu untuk Anne Avantie, desainer kenamaan yang acap menggunakan batik sebagai bahan dasar karyanya. Sukmawati membaca puisi itu pada peringatan 29 tahun Anne berkarya.

Jadi, ”Ibu Indonesia” itu adalah Anne Avantie. Bingkai berpuisi yang mesti dilihat adalah bagaimana seseorang menceritakan orang lain melalui puisi. Sukmawati sudah meminta maaf secara terbuka.

Pemerintah pun turun tangan agar masyarakat tak lagi gaduh karena puisi. Terlepas dari semua itu, apakah sudah sedemikian dangkal cara kita memaknai sastra? Sudahkah kita membaca dan mengajak makin banyak orang membaca sastra?(44)

- Dhoni Zustiyantoro, pengajar Program Studi Sastra Jawa FBS Universitas Negeri Semarang