image

DISKUSI SDGs : Para nara sumber dan ahli mengikuti diskusi kelompok terarah membahas SDGs yang digelar Suara Merdeka, di lantai 17 Menara Suara Merdeka, Jalan Pandanaran, Semarang, Kamis (14/12). (65)

16 Desember 2017 | Liputan Khusus

INDONESIA Memelopori SDGs

  • Konsep Dinilai Kurang Membumi

PEMBANGUNANjangka panjang tingkat global dirancang melalui program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang salah satu inisiatornya adalah Indonesia. Program berjangka waktu 15 tahun mulai 2015 sampai 2030 ini menargetkan sejumlah hal.

Program lintasnegara ini dikupas sejumlah narasumber dan ahli di bidang masing-masing melalui diskusi kelompok terarah yang digelar Suara Merdeka di Menara Suara Merdeka, Jalan Pandanaran, Semarang, Kamis (14/12). SDGs merupakan agenda internasional yang menjadi kelanjutan dari Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs).

Tujuan pembangunan ini disusun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan melibatkan 194 negara, civil society, dan berbagai pelaku ekonomi dari seluruh penjuru dunia. Agenda yang ditetapkan 25 September 2015 ini memuat 17 tujuan pembangunan global dengan 169 target yang akan dijadikan tuntunan kebijakan dan pendanaan untuk 15 tahun hingga 2030.

Tujuan dan target tersebut meliputi tiga dimensi yaitu, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Total 17 tujuan itu adalah memerangi kemiskinan; memerangi kelaparan; kehidupan sehat dan sejahtera; pendidikan berkualitas; kesetaraan gender; air bersih dan sanitasi layak.

Lalu energi bersih dan terjangkau; pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; industri, inovasi dan infrastruktur; berkurangnya kesenjangan; kota dan komunitas berkelanjutan; konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Lantas, penanganan perubahan iklim; ekosistem laut; ekosistem daratan; perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh; serta kemitraan untuk mencapai tujuan.

Pada mulanya, konsep SDGs diusulkan Kolombia dalam government retreat yang digelar di Solo, Indonesia, Juli 2011, sebagai persiapan konferensi Rio+20. Usulan tersebut kemudian dibawa Departemen Informasi Publik PBB pada 64th NGOs Conference, September 2011 dan menghasilkan 17 usulan tujuan berkelanjutan serta target-target terkait.

Proses selanjutnya hingga ke sidang Majelis Umum PBB. Setelah negosiasi berbagai negara selama berbulan-bulan, usulan lantas diadopsi ke dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan PBB, 25-27 September 2015 yang diselenggarakan di New York, Amerika Serikat. ”SDGs bukan barang impor.

Pionirnya adalah Indonesia bersama Inggris dan Liberia. Indonesia menjadi negara yang rutin memberikan laporan perkembangan program ini kepada PBB,” ungkap Kepala Perwakilan United Nations Children's Fund (Unicef) untuk Pulau Jawa, Arie Rukmantara, dalam diskusi.

Unicef merupakan organisasi di bawah PBB yang memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan jangka panjang kepada anak-anak dan ibunya di negara-negara berkembang. Dikatakan, terdapat tiga cara pandang terkait SDGs yang tidak bisa dilepaskan dari MDGs.

Pertama, mengenai ketidaksetaraan anak-anak dalam program MDGs yang telah dijalankan. Dia melihat adanya kebijakan berbeda pada satu daerah yang jaraknya hanya beberapa kilometer, namun fasilitas publiknya menentukan perkembangan anak. Arie mencontohkan Bandung dan Sukabumi.

Dua daerah di Jawa Barat yang bertetangga, namun kualitas anak-anaknya tidak setara. ”Ini yang membuat Unicef terpanggil dan ikut mengadvokasi pemerintah untuk mengikis ketidaksetaraan,” ucapnya. Titik pandang kedua, program yang diimplementasikan dalam SGDs diarahkan mengarusutamakan anak, karena akan ada efek domino yang dihasilkan.

Misalnya, dalam program pendidikan, peningkatan gizi, antikekerasan terhadap anakanak dan perempuan. ”Semua investasi yang ditanamkan pada program ini akan kembali dalam bentuk kualitas sumber daya manusia. Mereka ini nantinya yang akan merasakan SDGs pada akhir program tahun 2030,” imbuhnya.

Kurang Gereget

Sudut pandang ketiga, pemerintah diminta lebih agresif dan progresif dibandingkan pada saat program MDGs. Dia melihat gereget program MDGs masih kurang, terutama ketiadaan swasta dalam menyokong program. ”Saya lihat ada gerakan dari pihak swasta mendukung program seperti memberikan beasiswa sampai kuliah. Tapi sayangnya tidak bisa dimasukkan ke dalam kegiatan pemerintah. Dunia usaha harus digandeng,” kata dia.

Peneliti Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Diponegoro, Sutopo mengatakan, ketidakhadiran dunia usaha tercermin dari ketidakhadiran dalam diskusi kali ini. Menurut dia, dari dunia usaha dapat digali lebih jauh terkait alternatif pendanaan. Sutopo melihat potensi dana cukai dapat digunakan sebagai sumber pendanaan.

Namun, perlu dialog yang intensif dengan semua pemangku kebijakan untuk mencari solusi bila ada kesulitan pendanaan. ”Swasta kami lihat belum bergerak bersama. Mereka harus diajak menyukseskan program pemerintah. Pemerintah juga punya dana cukai triliunan rupiah yang memungkinkan dipakai untuk ini,” kata dia.

Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, Gunawan Permadi mengatakan, ketidakhadiran swasta itu bisa jadi karena ketidaktahuan urgensi program. Karena itu, tantangan ke depan, SDGs harus lebih membumi dan dipahami oleh masyarakat dan dunia usaha, sehingga mereka merasa memiliki.

”Mengemas bahasa program ini penting, karena menjadi variabel penentu keberhasilan sebuah program,” ungkap dia. Narasumber lain menyoroti belum adanya peraturan operasional di tingkat pemerintah pusat sebagai kelanjutan Peraturan Presiden 59 Tahun 2017.

Dosen Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, Endang Cahyati mengatakan, peraturan pelaksana dari perpres belum turun. Padahal perpres sudah dibuat pada awal tahun 2017. ”Program SDGs bisa terhambat gara-gara aturan yang lebih operasional belum diterbitkan pemerintah pusat,” ucapnya.

Di tingkat daerah, kata dia, harus sudah disusun rencana aksi daerah mulai tingkat provinsi sampai kabupaten/ kota. Selama dua tahun setelah digulirkannya SDGs, belum ada geliat rencana aksi itu. ”Padahal amanatnya, 12 bulan setelah SDGs harus sudah ada RAD. Ini menjadi pertanyaan banyak pihak yang konsen pada isu ini,” ujar dia.(65)